DJADIN MEDIA – Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia (69,7 persen) menolak pelaksanaan pemilu dan pilkada secara serentak di tahun yang sama. Hanya 28,5 persen responden yang menyatakan setuju, sementara 1,8 persen lainnya memilih tidak menjawab atau tidak tahu.
Survei ini dilakukan pada 2-5 Desember 2024 dengan melibatkan 625 responden dari 38 provinsi, menggunakan metode wawancara telepon. Tingkat kepercayaan survei mencapai 95 persen, dengan margin of error sebesar ± 3,92 persen.
“Sebanyak 69,7 persen responden dalam jajak pendapat ini setuju jika pemilu dan pilkada tidak lagi dilaksanakan serentak pada tahun yang sama,” tulis laporan Litbang Kompas.
Beban Berat Penyelenggaraan Serentak
Keputusan untuk menyelenggarakan Pemilu Nasional dan Pilkada pada tahun yang sama dianggap memberatkan, terutama bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pemilu Nasional, termasuk Pilpres dan Pileg, dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Sementara tahapan Pilkada serentak dimulai akhir Februari, dengan hari pencoblosan pada 27 November 2024.
Kondisi ini menjadi tantangan besar, terutama di daerah dengan jumlah pemilih yang tinggi. Di Jawa Barat, tercatat 133 petugas penyelenggara Pemilu 2024 meninggal dunia. Jawa Timur melaporkan 30 petugas meninggal hingga akhir Februari, dengan mayoritas korban berasal dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Dukungan Terpisah untuk Pemilu dan Pilkada
Hasil survei ini mempertegas aspirasi publik untuk memisahkan jadwal pemilu dan pilkada. Dengan tekanan besar yang dihadapi penyelenggara dan tingginya risiko kesehatan petugas, pelaksanaan pemilu dan pilkada yang terpisah diharapkan dapat memberikan efisiensi dan mengurangi beban kerja.
Ke depan, pemerintah bersama lembaga terkait perlu mempertimbangkan hasil survei ini sebagai bahan evaluasi untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih ideal dan manusiawi.***