DJADIN MEDIA — Sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang hanya meminta uang pengganti sebesar Rp12 triliun pada terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk disoroti keras oleh Komisi Kejaksaan. Pasalnya, kerugian negara akibat skandal tersebut diperkirakan mencapai Rp300 triliun, sementara total uang pengganti yang dijatuhkan hanya sebagian kecil dari jumlah tersebut.
Anggota Komisi Kejaksaan (Komjak), Heffinur, menilai keputusan ini tidak masuk akal dan mendesak Kejagung untuk mengajukan banding secara maksimal terhadap vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa, termasuk terdakwa utama Harvey Moeis dan rekannya.
“Kami akan segera berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk memaksimalkan upaya banding,” ujar Heffinur.
Heffinur menyoroti ketimpangan dalam jumlah uang pengganti dan denda yang dijatuhkan. Total uang pengganti sebesar Rp12 triliun dan denda Rp11 miliar dinilai tidak sebanding dengan kerugian negara yang terjadi. Ia menegaskan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus berusaha lebih keras untuk memastikan hukuman yang lebih adil bagi para terdakwa.
“Kami akan meminta penjelasan mengenai keputusan denda dan uang pengganti ini,” tambahnya.
Komjak juga mempertanyakan keputusan Jaksa yang tidak mengajukan banding terhadap vonis lebih ringan bagi Rusbani alias Bani, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung pada 2019. Bani divonis dua tahun penjara, jauh lebih ringan dari tuntutan JPU yang meminta enam tahun penjara.
“Kenapa tidak banding? Dari enam tahun ke dua tahun, ini yang perlu dijelaskan,” tegas Heffinur.
Rita Serena Kolibonso, anggota Komjak lainnya, menekankan pentingnya kesungguhan dan ketelitian JPU dalam menjalankan upaya hukum untuk memastikan penegakan hukum yang benar dan adil.
“Kami akan terus memantau putusan-putusan yang belum dikonfirmasi banding, karena masih ada tenggang waktu banding,” tambahnya.***