DJADIN MEDIA- Sekolah Siger—yang diinisiasi sebagai terobosan pendidikan gratis oleh Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana—justru berubah menjadi sumber polemik. Di tengah kemelut penerimaan peserta didik baru, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak hal krusial belum siap: mulai dari sistem manajemen, status yayasan, hingga kejelasan pengelolaan operasional.
Jumlah Pendaftar Minim, Antusiasme Lesu
Pada hari penutupan pendaftaran, hanya tercatat sekitar 60 siswa yang mendaftar di seluruh Sekolah Siger. SMA Siger 2 mencatat 11 pendaftar, Siger 3 sebanyak 23 orang, Siger 4 15 siswa, dan Siger 1 hanya 9 siswa pada hari pertama. Lebih parah, tidak ada panitia pendaftaran di lokasi saat jam masih menunjukkan pukul 14.00 WIB—sementara siswa justru tampak sibuk latihan Pramuka.
Guru yang kebetulan berada di kantin sekolah bahkan tidak tahu-menahu soal jumlah pendaftar maupun status sekolah tersebut. “Kami baru datang siang ini, dan sama sekali tidak tahu soal pendaftaran Siger,” ungkap salah satu guru.
Yayasan Tanpa Wajah, Manajemen Tanpa Rencana
Polemik bertambah pelik ketika tak satu pun pengelola sekolah tahu siapa Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda—yayasan yang diklaim menaungi sekolah ini. Bahkan wakil kepala sekolah mengaku baru ditunjuk seminggu sebelumnya, dan semua sistem kerja masih mengalir mengikuti instruksi.
“Struktur belum jelas. Kepala sekolah belum ditentukan. Kami hanya menunggu arahan,” ucapnya datar.
Panitia pendaftaran di sekolah lain pun mengalami hal serupa: tidak tahu jam buka-tutup pendaftaran, tidak tahu siapa pengurus yayasan, bahkan tidak memiliki data akreditasi atau status hukum resmi dari lembaga yang mereka wakili.
Suara Protes dari Sekolah Swasta dan Tokoh Masyarakat
Puluhan kepala sekolah swasta sebelumnya sudah mengadu ke Komisi V DPRD Lampung, menyuarakan keresahan mereka terhadap ancaman kehilangan siswa akibat pendirian Sekolah Siger. Namun, melihat minimnya pendaftar, kekhawatiran itu tak terbukti—karena sekitar 2.400 siswa masih siap masuk ke sekolah swasta.
Namun yang paling disoroti bukanlah jumlah pendaftar, melainkan carut-marut manajemen dan penerobosan regulasi. Banyak pihak menilai, kebijakan Eva Dwiana ini dijalankan tanpa kajian matang, dan berpotensi menyalahi aturan pendidikan nasional.
“Gedungnya enggak jelas, kepala sekolahnya enggak jelas, yayasannya juga enggak jelas. Kenapa enggak bantu sekolah swasta yang sudah punya sistem? Ini justru bahaya buat masa depan anak-anak kita,” kritik Misrul, tokoh masyarakat sekaligus Panglima Laskar Muda Lampung.
Ia menilai, niat Eva Dwiana patut diapresiasi, tetapi eksekusinya cacat perencanaan dan mengabaikan stakeholder pendidikan lain.
Rekomendasi Revisi Kebijakan: Jangan Abaikan Swasta
Misrul menyarankan agar Pemkot mengalihkan dana Sekolah Siger untuk mensubsidi biaya pendidikan di sekolah swasta, yang sudah terakreditasi dan punya yayasan legal. Ia juga mendesak DPRD untuk aktif mengontrol kebijakan ini, karena banyak hal yang dinilai sebagai penerobosan aturan pendidikan.
“DPRD jangan diam. Ini bukan sekadar soal sekolah, ini menyangkut masa depan generasi muda. Kalau salah kelola, anak-anak kita yang jadi korban,” tegasnya.
Pertanyaan Besar yang Masih Menggantung:
- Siapa Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda?
- Apakah sekolah ini sudah mengantongi izin operasional resmi?
- Kenapa proses manajemen dan pendaftaran tidak transparan?
- Dan, mengapa wali kota belum memberi klarifikasi publik?
Sekolah Siger berangkat dari niat mulia, tapi kini dihadapkan pada pertanyaan serius soal legalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Terobosan atau justru blunder kebijakan? Publik menanti jawaban.***