DJADIN MEDIA— Rencana pemerintah pusat menetapkan Danau Toba sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) memicu gelombang penolakan dari masyarakat Sumatera Utara. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), warga menyuarakan sembilan poin penolakan terhadap kebijakan yang dinilai terlalu sentralistik dan eksploitatif.
“Selama ini, berbagai kebijakan tentang Danau Toba lebih banyak datang dari atas, tanpa melibatkan suara masyarakat yang hidup dan menjaga kawasan ini sejak dulu,” tegas Sutrisno.
Sejak ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) lewat Perpres No. 50 Tahun 2011, hingga menjadi Destinasi Pariwisata Super Prioritas melalui Perpres No. 89 Tahun 2024, Danau Toba terus menjadi magnet investasi. Namun, menurut warga, pembangunan yang berjalan tidak mencerminkan keadilan sosial maupun keberpihakan pada budaya lokal.
Sembilan Poin Penolakan Warga Sumatera Utara terhadap KEK Danau Toba:
- Terlalu Banyak Intervensi Pusat
Kebijakan tumpang tindih antar lembaga membuat pembangunan tidak terarah dan sulit diterapkan. - Minimnya Peran Daerah
Pemda hanya dijadikan pelaksana teknis, bukan pengambil keputusan. - Rakyat Jadi Penonton
Aspirasi masyarakat lokal diabaikan dalam proses perencanaan dan pembangunan. - Pembangunan Harus Berbasis Kultural
Penataan tidak boleh hanya fisik; warisan budaya seperti Lomba Solu Bolon, Tumba, dan Moccak harus mendapat perhatian. - Danau Toba Milik Bersama
Bukan milik elite atau pemerintah semata. Semua kebijakan harus inklusif dan melibatkan rakyat. - Investasi Eksploitatif
KEK dinilai hanya menguntungkan investor besar, sementara rakyat hanya jadi buruh di tanah sendiri. - Dana Harus Dikelola Daerah
Anggaran pusat sebaiknya disalurkan langsung ke kabupaten, agar lebih tepat guna. - Berantas Korupsi Dulu
Warga mengusulkan Danau Toba dijadikan Kawasan Bebas Korupsi untuk menciptakan tata kelola yang bersih dan menarik wisatawan berkualitas. - Tolak KEK Secara Tegas
Warga mendesak evaluasi terhadap seluruh lembaga/kementerian yang selama ini terlibat di kawasan Danau Toba.
Penolakan ini muncul menyusul usulan Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, yang menyatakan KEK sebagai solusi mempercepat pembangunan. Namun masyarakat melihatnya sebagai kebijakan “ekonomi elitis” yang justru berisiko mengikis identitas lokal.
Di tengah gencarnya promosi pariwisata, warga Sumut mengingatkan: pembangunan harus mengedepankan partisipasi masyarakat, keadilan, dan pelestarian budaya. “Kami bukan objek, kami adalah subjek pembangunan,” tegas Sutrisno.***