DJADIN MEDIA– Rencana alih fungsi Terminal Panjang menjadi gedung sekolah swasta bernama Siger menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Proyek yang digagas Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, itu dianggap tidak memiliki urgensi dan justru membuka pertanyaan soal arah kebijakan pendidikan di kota ini.
Hingga kini, status yayasan serta sumber pendanaan Sekolah Swasta Siger belum jelas. Padahal, pembangunan gedung sekolah swasta di lahan bekas terminal tua tersebut dikabarkan akan menggunakan dana dari APBD atau sumber CSR.
Padahal, menurut regulasi, pendidikan menengah seperti SMA dan SMK merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi, bukan kota/kabupaten. Saat ini, tanggung jawab tersebut berada di tangan Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Thomas Amirico.
Sejumlah warga pun memberikan respons yang beragam. Seorang wali murid, Aminah, bahkan mengaku menyesal telah mendaftarkan anaknya ke Sekolah Siger.
“Kirain ini sekolah negeri, ternyata swasta. Mungkin saya akan pindahkan anak saya ke sekolah swasta lain,” katanya pada hari pertama pendaftaran, 9 Juli 2025.
Namun, ada juga yang mendukung. Seperti Edi Gunawan Surya, warga Kota Baru yang langsung mendaftarkan anaknya pagi-pagi setelah mendapat info dari grup WhatsApp.
“Saya langsung ke sini jam 9 pagi, takut nggak kebagian kuota murid,” ungkapnya.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, banyak pihak mempertanyakan logika di balik kebijakan ini. Saat ini, lebih dari 100 sekolah swasta di Bandar Lampung tengah membutuhkan bantuan. Beberapa bahkan terpaksa tutup karena minim siswa. Lantas, mengapa Pemkot justru membangun sekolah swasta baru?
Tak hanya soal urgensi, rencana pembangunan ini juga dinilai berpotensi melanggar sejumlah regulasi, antara lain:
- Permendikbudristek No. 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sekolah oleh Pemerintah Daerah yang mewajibkan adanya rekomendasi dari minimal lima sekolah di sekitar lokasi pendirian.
- Belum adanya persetujuan DPRD dalam rapat paripurna untuk alokasi anggaran maupun pendirian sekolah.
Beberapa pengamat bahkan menyebut ini bukan solusi, melainkan bentuk “kebijakan depresi”—sebuah respons terburu-buru atas kritik publik terhadap pengelolaan aset dan lemahnya realisasi kebijakan pendidikan kota.
Alih fungsi terminal tua tanpa urgensi dan perencanaan matang justru memperkuat kesan bahwa kebijakan ini didorong oleh kepentingan citra dan tekanan, bukan kebutuhan nyata masyarakat.***