DJADIN MEDIA— Terminal Panjang, salah satu simpul transportasi penting di Kota Bandar Lampung, menyimpan persoalan yang lebih dalam dari sekadar bangunan usang dan minim renovasi. Di tempat itulah, praktik pungutan liar (pungli) diduga telah menjadi rahasia umum, dan ironisnya, tak kunjung ditindak.
Sejumlah pengguna fasilitas terminal mengaku telah lama dipungut biaya sewa tanpa dasar hukum yang jelas. Salah satu pelaku usaha yang beraktivitas di kawasan itu menyebut dirinya membayar Rp500 ribu setiap bulan untuk bisa tetap menggunakan area tersebut. Pembayaran dilakukan melalui transfer langsung ke rekening milik seorang Kepala UPT Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung.
“Sudah biasa kami bayar. Bukan cuma saya, ada juga yang hanya bayar Rp200 ribu. Tapi kalau telat, langsung diancam tidak boleh berjualan,” tuturnya kepada wartawan, dengan syarat tidak disebutkan identitas demi keamanan.
Pengakuan serupa datang dari pengguna lainnya. Setoran bulanan dianggap sebagai ‘tiket bertahan hidup’ di terminal yang sejak lama tak mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Situasi ini sebenarnya sempat terungkap langsung di hadapan Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, saat dirinya berkunjung ke Terminal Panjang beberapa waktu lalu. Dalam rekaman video yang diunggah ke akun Instagram resminya, seorang warga mencoba menyampaikan persoalan pungli yang mereka alami.
Namun, alih-alih merespons dengan empati atau berjanji menyelidiki lebih lanjut, Eva justru membantah dan memotong aduan warga secara sepihak.
“Enggak ada sewa, sewa. Ini gratis,” ujarnya sambil menepis keluhan yang sempat terekam dalam video tersebut.
Respons tersebut memantik kekecewaan. Warga menilai, Wali Kota mengabaikan suara rakyat kecil yang selama ini menjadi korban sistem tanpa perlindungan hukum. Padahal, aduan itu datang dari mereka yang selama ini menopang denyut ekonomi terminal melalui aktivitas angkut dan niaga.
Terminal Panjang bukan sekadar tempat singgah kendaraan. Ia adalah nadi ekonomi bagi banyak warga yang menggantungkan hidup di sana. Ketika pungli dibiarkan dan aduan dibungkam, maka yang hilang bukan hanya keadilan—tetapi juga harapan.
Kini, publik menanti langkah nyata Pemkot Bandar Lampung: akan membongkar praktik kotor ini, atau terus membiarkannya menjadi bagian dari budaya diam yang membusuk perlahan.***