DJADIN MEDIA– Kunjungan kerja Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid ke Provinsi Lampung, akhir Juli 2025, dinilai tidak menyentuh akar konflik agraria yang telah mencengkeram Kabupaten Lampung Tengah selama puluhan tahun.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, menyampaikan kritik tajam terhadap kehadiran menteri yang dinilai hanya mengedepankan seremoni tanpa langkah konkret. “Konflik tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha masih dibiarkan menggantung. Tidak ada komitmen nyata untuk menyelesaikannya,” ujarnya, Selasa malam (29/7/2025).
Konflik antara warga Kampung Bumi Aji, Negara Aji Tua, dan Negara Aji Baru dengan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) telah berlangsung sejak tahun 1972. Warga mengklaim lahan tersebut merupakan tanah garapan turun-temurun, sementara perusahaan mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) seluas hampir 1.000 hektare, yang belakangan diketahui hanya sebagian kecil yang benar-benar dikelola.
Ironisnya, HGU PT BSA dikeluarkan tanpa partisipasi bermakna dari warga sekitar. “Tak ada dialog. Tak ada pengakuan bahwa rakyat sudah lebih dulu menggarap tanah itu. Negara mengakui klaim perusahaan tanpa memperhitungkan jejak historis warga,” lanjut Sumaindra.
Kondisi semakin memanas pada September 2023 ketika aparat gabungan dikerahkan untuk menggusur lahan warga secara paksa. Sekitar 1.500 personel dari TNI, Polri, dan Satpol PP melakukan penertiban besar-besaran, menangkap warga, dan melakukan intimidasi. “Ini bukan penegakan hukum, ini penindasan,” tegas Sumaindra.
Sejak April 2025, ratusan warga dari tiga kampung rutin menggelar aksi damai di depan Kantor Bupati dan DPRD Lampung Tengah, menuntut pembentukan panitia khusus agraria, pembebasan petani yang dikriminalisasi, serta pencabutan HGU PT BSA. Namun hingga kini, negara belum menunjukkan sikap yang berpihak pada rakyat.
Pemerintah pusat memang sempat menyinggung soal ketidakpatuhan korporasi pemegang HGU terhadap kewajiban menyediakan 20% lahan plasma. Namun LBH Bandar Lampung menilai pernyataan itu tak cukup kuat untuk mengubah struktur agraria yang timpang. “Evaluasi HGU saja tidak cukup. Harus ada audit menyeluruh, pencabutan izin, dan redistribusi tanah kepada warga yang telah lama mengelolanya,” jelasnya.
LBH Bandar Lampung juga menyerukan agar kunjungan Menteri ATR/BPN tak hanya menjadi etalase simbolik. “Jika negara serius dengan reforma agraria, Anak Tuha bisa jadi laboratorium pembenahan. Tapi kalau tidak, ini hanya pengulangan sejarah di mana rakyat selalu kalah oleh korporasi,” tutup Sumaindra.
Keadilan yang dituntut warga bukan sekadar soal administratif. Ini tentang tanah, penghidupan, dan masa depan. Jika negara terus berpihak pada modal dan membiarkan represi terus berlangsung, maka reforma agraria tak lebih dari jargon kosong di podium.***
