DJADIN MEDIA– Di tengah konflik agraria yang belum terselesaikan di wilayah Anak Tuha, Lampung Tengah, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Provinsi Lampung bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menggelar penyuluhan hukum pada Kamis, 31 Juli 2025. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk respons terhadap ketegangan yang melibatkan masyarakat setempat dan perusahaan PT Bumi Sentosa Abadi (PT BSA).
Melalui rilis resmi, Direktur LBH menegaskan bahwa kehadiran negara dalam bentuk bantuan hukum adalah mandat konstitusi, bukan sebatas simbolik. Dalam konflik agraria seperti yang terjadi di Anak Tuha, masyarakat perlu mendapat pendampingan hukum yang utuh, bebas dari intimidasi maupun kriminalisasi.
“Negara harus hadir dalam setiap konflik rakyat, terutama kelompok rentan yang berhadapan dengan korporasi. Pendamping hukum, termasuk advokat dan paralegal, dilindungi Undang-Undang dan tidak bisa dituntut pidana atau perdata saat menjalankan tugasnya,” tegas Robi Awaludin, penyuluh hukum Kanwil Kemenkumham Lampung.
Direktur LBH juga mengutip Pasal 21 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang secara eksplisit melindungi pemberi bantuan hukum dari kriminalisasi. Ia menyatakan, kriminalisasi terhadap pejuang agraria adalah bentuk nyata pelanggaran hukum.
Masyarakat yang hadir dalam penyuluhan turut menyampaikan kekhawatiran mereka. Intimidasi, perampasan lahan, hingga ancaman kriminalisasi disebut sebagai bagian dari tekanan yang mereka alami akibat mempertahankan hak atas tanah adat dan lahan garapan mereka.
Kegiatan ini bukan hanya seremonial, melainkan bentuk konkret kehadiran negara di tengah ketimpangan hukum. Dalam kasus Anak Tuha, di mana warga menghadapi korporasi besar dengan sumber daya yang tak seimbang, pendampingan hukum menjadi satu-satunya pelindung bagi akses keadilan.
Negara tidak boleh sekadar menjadi penonton. Negara wajib aktif menindak korporasi yang menyalahgunakan Hak Guna Usaha (HGU), melakukan audit, hingga mencabut izin jika terbukti merampas ruang hidup rakyat.
Penyuluhan ini menjadi titik terang di tengah kelamnya konflik agraria. Namun, lebih dari itu, masyarakat membutuhkan keberpihakan hukum yang nyata — bukan sekadar slogan “hukum untuk semua”, tetapi keberanian hukum untuk berpihak pada yang lemah.***