• Biolink
  • Djadin Media
  • Network
  • Sample Page
Tuesday, August 26, 2025
  • Login
Djadin Media
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
Djadin Media
No Result
View All Result
Home Ekonomi

Permintaan Tapioka Dunia Anjlok, Tren Harga Singkong Nasional Terus Turun, Petani Diminta Bersiap

MeldabyMelda
August 21, 2025
in Ekonomi
0
Permintaan Tapioka Dunia Anjlok, Tren Harga Singkong Nasional Terus Turun, Petani Diminta Bersiap

DJADIN MEDIA – Anjloknya permintaan tapioka global sepanjang 2024 hingga 2025 memberikan tekanan besar terhadap rantai produksi singkong nasional, terutama di Lampung yang dikenal sebagai sentra utama. Penurunan permintaan ini terjadi akibat melemahnya sektor kertas dan pangan, dua industri terbesar pengguna tapioka di dunia. Dampaknya langsung dirasakan petani singkong, yang kini menerima harga jauh di bawah ketetapan pemerintah.

Harga singkong yang sebelumnya dipatok pemerintah sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 30 persen, di lapangan justru dipotong hingga 40 persen. Akibatnya, harga riil yang diterima petani hanya berkisar Rp1.000–1.100 per kilogram. Kondisi ini membuat banyak petani kesulitan menutup biaya produksi, apalagi dengan tingginya ongkos pupuk dan perawatan tanaman.

Tren penurunan harga tidak hanya terjadi di Lampung, tetapi juga di berbagai sentra singkong lain di Indonesia. Penurunan harga aci atau tepung tapioka menjadi penyebab utama. Pada akhir 2024 harga aci masih berada di kisaran Rp5.600 per kilogram, namun kini hanya sekitar Rp4.500 per kilogram, bahkan ada laporan di beberapa daerah lebih rendah lagi.

Lampung sebagai pusat industri tapioka nasional memegang peran besar dalam rantai pasok. Hingga 2024, luas tanam singkong di provinsi ini mencapai 239.994 hektare dengan total produksi 7,16 juta ton. Dari jumlah tersebut, industri pengolahan menghasilkan 1,79 juta ton tepung tapioka dengan nilai produksi menembus Rp10,7 triliun.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung mencatat ada 67 industri tapioka beroperasi di sembilan kabupaten. Sebanyak 32 perusahaan berskala besar dan 35 industri menengah, dengan konsentrasi terbesar di Lampung Tengah yang menampung 36 perusahaan. Perusahaan besar seperti PT Budi Acid Jaya, PT Florindo Makmur, PT Umas Jaya Agrotama, PT Sungai Bungur Indo Perkasa, hingga PT Bintang Lima Menggala menjadi motor penggerak. Salah satu contohnya, PT Sinar Pematang Mulia II di Lampung Tengah memiliki kapasitas produksi hingga 500 ton per hari atau setara 182.500 ton per tahun.

Di sisi global, data Asosiasi Perdagangan Tapioka Thailand menunjukkan harga ekspor turun signifikan. Harga FOB Bangkok yang awal 2024 berada di kisaran US\$568 per ton, pada Agustus 2025 jatuh ke angka US\$405–450 per ton. Kondisi ini langsung menekan daya serap pasar internasional, sehingga produksi dalam negeri, termasuk Lampung, mengalami penumpukan stok. Bahkan, saat ini tercatat 400 ribu ton tepung tapioka di Lampung menumpuk tanpa terserap pasar, menambah tekanan harga.

Instruksi Gubernur Lampung No. 2/2025 memang pernah mengatur harga minimal Rp1.350 per kilogram tanpa pengukuran kadar pati dan potongan maksimal 30 persen. Namun, lemahnya pengawasan membuat banyak perusahaan tetap memberlakukan rafaksi hingga 40 persen, sehingga harga jatuh jauh dari ketetapan.

Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Lampung, Helmi Hasanuddin, menilai situasi ini bisa berlanjut hingga awal 2026 jika tidak ada langkah konkret. Ia menekankan pentingnya pola kemitraan nyata antara petani dan industri, agar posisi petani tidak semakin lemah.

“Petani harus diperkuat dengan panca usaha tani, mulai dari penyediaan bibit unggul, teknologi budidaya, penyuluhan intensif, dukungan modal, hingga pemasaran yang terjamin. Pemerintah, BUMN, dan swasta harus hadir dalam sistem ini agar keberlanjutan singkong bisa terjaga,” jelas Helmi di Bandar Lampung, Rabu (20/8/2025).

Helmi juga mengusulkan diversifikasi tanaman, salah satunya ke jagung. Namun, ia menekankan bahwa peralihan ini harus berbasis ekosistem bisnis yang terintegrasi. “Petani bisa beralih ke jagung, tapi harus ada ekosistem bisnis close loop. Perlu pengering skala kecamatan, kemitraan dengan UMKM pakan dan peternak lokal, serta penguatan rantai pasok. Kalau hanya ikut pola besar yang dikuasai kartel, petani tetap tidak akan sejahtera,” tambahnya.

Sekretaris Himpunan Perusahaan Tepung Tapioka Indonesia (HPPTI), Tigor Silitonga, menyoroti penurunan tajam permintaan tapioka di sektor kertas dunia. Menurutnya, perubahan gaya hidup masyarakat yang beralih ke media digital membuat permintaan kertas terus menurun, dan hal ini langsung berimbas pada industri tapioka.

“Permintaan kertas global terus berkurang, akibatnya penggunaan tapioka juga menurun. Kondisi ini menekan industri dalam negeri dan berimbas ke petani. Karena itu, kebijakan proteksi pasar domestik harus diprioritaskan,” tegas Tigor.

Ia menilai pemerintah perlu membatasi impor agar produk dalam negeri lebih terserap. Di sisi lain, peningkatan produktivitas singkong juga penting agar hasil panen bisa lebih efisien. Menanggapi wacana diversifikasi ke jagung, Tigor menilai itu bukan solusi utama.

“Jagung memang punya pasar, tapi risikonya tinggi. Butuh perawatan intensif dan rentan hama. Singkong justru lebih adaptif dan telah membudaya. Petani tidak bisa begitu saja meninggalkan singkong, melainkan memperbaiki sistem produksinya,” ungkapnya.

Meski demikian, pemerintah pusat tetap memberi ruang bagi diversifikasi. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung ditetapkan Rp5.500 per kilogram dengan target Bulog menyerap hingga 1 juta ton pada 2025. Kebijakan ini memberi jaminan pasar bagi petani yang ingin melakukan rotasi tanaman.

Ke depan, baik MSI maupun HPPTI sepakat bahwa singkong tetap menjadi komoditas utama Lampung. Strategi jangka panjang adalah memperkuat industri tapioka nasional melalui efisiensi produksi, proteksi pasar, serta pola kemitraan yang adil dan berkelanjutan antara petani, industri, dan pemerintah. Dengan demikian, petani tidak hanya menjadi korban fluktuasi harga global, tetapi juga bagian dari rantai nilai yang berdaya saing.***

Source: WAHYUDIN
Tags: HargaSingkongIndustriTapiokaSingkongLampungTapioka
Previous Post

Raihan, Bocah Lampung yang Panjat Tiang Bendera, Tuai Apresiasi Nasional

Next Post

Ahmad Al Akhran Resmi Dilantik Sebagai Anggota DPRD Lampung Selatan Lewat PAW

Next Post
Ahmad Al Akhran Resmi Dilantik Sebagai Anggota DPRD Lampung Selatan Lewat PAW

Ahmad Al Akhran Resmi Dilantik Sebagai Anggota DPRD Lampung Selatan Lewat PAW

Facebook Twitter

Alamat Kantor

Perumahan Bukit Billabong Jaya Blok C6 No. 8,
Langkapura, Bandar Lampung
Email Redaksi : lampunginsider@gmail.com
Nomor WA/HP : 081379896119

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In