DJADIN MEDIA– Isu perpindahan siswa dari sekolah swasta ke sekolah negeri kembali menjadi sorotan. Baru-baru ini terungkap bahwa seorang siswa kelas 10 SMK Swasta hampir dipindahkan ke SMK Negeri saat tahun ajaran baru baru berjalan sekitar satu bulan, tepatnya pada Rabu, 3 September 2025. Peristiwa ini memunculkan kekhawatiran serius terkait keadilan pendidikan, psikologi siswa, dan penggunaan APBD sebagai sumber pembiayaan fasilitas pendidikan.
Kejadian ini bermula ketika orang tua siswa mengajukan permohonan perpindahan ke sekolah negeri. Kepala SMK Negeri, entah karena kurang memahami aturan atau alasan lain, sempat mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan siswa diterima tanpa melalui prosedur resmi, seperti tes akademik, zonasi, atau seleksi administrasi. Praktik ini memunculkan indikasi adanya “batu loncatan” di mana siswa swasta dimanfaatkan untuk mendapatkan akses ke sekolah negeri secara tidak sah, sekaligus memanfaatkan fasilitas negara yang bersumber dari APBD.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menegaskan bahwa siswa kelas 10 belum diperbolehkan pindah ke sekolah negeri. “Yang diperbolehkan pindah adalah siswa kelas 11. Anak kelas 10 tidak kami izinkan, dan permohonan seperti ini sudah ditolak oleh Kepala Bidang terkait,” jelas Thomas pada Jumat, 5 September 2025. Ia juga menegur keras Kepala SMK Negeri yang telah mengeluarkan surat penerimaan siswa tersebut.
Sikap cepat pihak sekolah swasta dalam menindaklanjuti kasus ini membantu mencegah terjadinya pelanggaran lebih lanjut. Dengan adanya intervensi tersebut, SMK Negeri kemudian membatalkan surat penerimaan siswa, sehingga proses pendidikan tetap berjalan sesuai aturan. Namun, kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai sistem pendidikan, pengawasan internal, dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak sekolah negeri.
Lebih jauh, praktik semacam ini berpotensi merugikan banyak pihak. Bagi siswa yang pindah, perpindahan mendadak tanpa persiapan psikologis dapat menimbulkan stres, kebingungan, dan ketidaknyamanan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Bagi sekolah swasta, mereka kehilangan hak dan investasi yang telah dilakukan dalam mendidik siswa. Sementara bagi sekolah negeri, penerimaan siswa tanpa prosedur seleksi mengganggu sistem zonasi dan transparansi penerimaan.
Kasus ini juga menimbulkan risiko terhadap APBD, karena fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah daerah bisa dimanfaatkan secara tidak sah. Oleh karena itu, pengawasan ketat terhadap Kepala Sekolah Negeri dan prosedur administrasi sangat diperlukan. Pertanyaan pun muncul mengenai perlunya sanksi administratif bahkan pidana terhadap PNS yang melanggar ketentuan agar praktik “penumpang gelap” ini tidak terulang.
Thomas Amirico menekankan bahwa semua pihak harus bekerja sama untuk menjaga integritas sistem pendidikan. Orang tua, sekolah swasta, serta stakeholder pendidikan lainnya diharapkan aktif melaporkan kejanggalan dan pelanggaran yang terjadi, baik kepada aparat berwenang maupun lembaga independen. Hal ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang adil, transparan, dan menjunjung tinggi hak-hak siswa.
Kejadian ini menjadi peringatan bagi seluruh sekolah negeri agar tidak sembarangan menerima siswa tanpa prosedur resmi. Selain mempertaruhkan integritas sistem pendidikan, praktik seperti ini juga bisa berdampak pada psikologi anak, menimbulkan ketidakadilan, dan memunculkan konflik di antara lembaga pendidikan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung pun diharapkan memperkuat pengawasan, memberikan pedoman jelas, dan memastikan seluruh Kepala Sekolah Negeri mematuhi aturan yang berlaku.***