DJADIN MEDIA– Sekolah swasta di Lampung tengah menghadapi tekanan besar. Di tengah era kepemimpinan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan dominasi Gerindra sebagai partai pemenang Pemilu 2024, beban SMA/SMK swasta justru belum meringan. Sekolah-sekolah ini kini berjuang keras mempertahankan eksistensinya, sementara sekolah negeri seakan menjadi magnet utama bagi siswa baru.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menegaskan, kabar bahwa SMA/SMK swasta akan menerima Bosda senilai 500 ribu rupiah adalah keliru. Menurutnya, angka tersebut adalah rencana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk 2026, namun hanya berlaku untuk SMK Negeri.
“Keuangan daerah kita terbatas, jadi fokus dulu ke sekolah negeri. Tahun ini alhamdulilah masih ada Bosda, tapi hanya untuk negeri saja,” jelas Thomas saat ditemui di Tubaba, Selasa (9/9/2025).
Situasi ini menempatkan sekolah swasta pada posisi sulit. Dengan minimnya subsidi dari pemerintah, mereka harus mengandalkan Dana BOS dan sumber lain untuk menutupi operasional. Terlebih, jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah swasta menurun drastis. Dari 14.000 lulusan SMP se-Lampung, hanya tersisa sekitar 2.000 siswa yang memilih jalur swasta untuk tahun ajaran 2025/2026.
Kondisi ini diperparah oleh sistem penerimaan murid baru di SMA/SMK Negeri yang dianggap tidak manusiawi dan tidak mempertimbangkan kapasitas ruangan. Sekolah negeri cenderung menampung siswa tanpa batasan yang realistis, membuat sekolah swasta semakin kesulitan mendapatkan peserta didik baru.
Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta Lampung telah menyuarakan keluhan mereka ke Komisi V DPRD Provinsi Lampung, menyoroti persoalan keadilan pendidikan. Beberapa anggota DPRD yang hadir, termasuk Junaidi (Fraksi Demokrat), Chondrowati (Fraksi PDI Perjuangan), dan Syukron (Fraksi PKS), mendengar aspirasi para kepala sekolah. Sayangnya, tidak ada langkah nyata yang diambil. Bahkan Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung dari PDI Perjuangan, Yanuar, disebut tidak menanggapi persoalan ini.
Situasi semakin menegangkan dengan munculnya SMA/SMK “hantu” bernama Siger, sekolah yang didirikan Pemkot Bandar Lampung di bawah kendali Wali Kota Eva Dwiana. Kebijakan ini, yang kini dijuluki “The Killer Policy”, dituding menggerus peluang sekolah swasta untuk bertahan hidup.
Thomas Amirico menambahkan, rencana BOP 2026 hanya berlaku untuk sekolah negeri, dengan nilai 500 ribu rupiah per siswa. Sekolah swasta masih harus menunggu kemungkinan bantuan bergantung pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lampung. “Berdoa saja PAD kita meningkat tahun depan,” katanya, tanpa memberikan kepastian apakah sekolah swasta akan ikut menerima subsidi tambahan jika PAD Lampung naik.
Dengan kondisi minimnya murid, terbatasnya bantuan pemerintah, dan munculnya kebijakan kontroversial, masa depan SMA/SMK swasta di Lampung menjadi semakin suram. Para kepala sekolah berharap adanya perhatian serius dari pemerintah daerah untuk menjamin keberlangsungan pendidikan yang adil dan merata.***