DJADIN MEDIA– Polemik dunia pendidikan di Kota Bandar Lampung semakin panas setelah mencuatnya keberadaan sekolah ilegal bernama SMA Siger. Sekolah ini dikabarkan berdiri di bawah kendali langsung Wali Kota Eva Dwiana, yang kini dijuluki The Killer Policy karena kebijakannya yang dinilai arogan dan menabrak aturan.
SMA Siger dianggap sebagai bentuk arogansi kebijakan pemerintah kota yang nekat melawan peraturan perundang-undangan. Keberadaannya menambah deretan luka bagi dunia pendidikan swasta, terutama setelah sejumlah sekolah swasta terpaksa tutup, seperti SMK PHD dan Bhakti Utama yang gulung tikar.
Data mencatat, dari ribuan siswa yang gagal masuk SMA/SMK Negeri, hanya sekitar 2.000 orang yang bisa diserap sekolah swasta. Jumlah ini kemudian harus diperebutkan oleh lebih dari 100 sekolah swasta resmi di Bandar Lampung. Namun bukannya memberi subsidi agar sekolah swasta tetap bisa beroperasi, Eva Dwiana justru memilih mengucurkan anggaran untuk sekolah ilegal yang tidak terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Kebijakan ini menimbulkan gelombang kritik keras dari berbagai pihak. Bagaimana mungkin Pemkot Bandar Lampung membiayai operasional sekolah yang tidak diakui Dinas Pendidikan Provinsi Lampung maupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi? Padahal pemerintah pusat sudah jelas menyatakan bahwa kewenangan jenjang pendidikan menengah berada di bawah provinsi, bukan pemerintah kota.
Ironisnya, pada 2025 Pemkot Bandar Lampung justru tidak lagi mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa) untuk SMA/SMK swasta resmi. Kondisi ini membuat sekolah-sekolah swasta yang taat aturan semakin kesulitan membayar gaji guru, memenuhi kebutuhan operasional, hingga mempertahankan murid. Namun, di sisi lain, Pemkot justru memprioritaskan SMA Siger yang legalitasnya diragukan, bahkan berani membiayai pembangunan gedung sekolah tersebut.
Aksi ini dinilai sebagai bentuk “pembangkangan” terhadap hukum. Berdasarkan penelusuran, SMA Siger diduga telah melanggar setidaknya delapan regulasi penting, antara lain:
1. Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014
2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010
4. Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
6. Perwali Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2022
7. Perda Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Jika benar terbukti, konsekuensi hukumnya sangat berat. Jerat pidana hingga 10 tahun penjara, ancaman korupsi, serta denda miliaran rupiah menanti pihak penyelenggara. Sejumlah elemen masyarakat bahkan mendesak aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk turun tangan menyelidiki dugaan penyalahgunaan anggaran daerah dalam proyek pendidikan ilegal ini.
Kritik publik juga menyoroti dampak besar kebijakan ini bagi ekosistem pendidikan di Bandar Lampung. Sekolah swasta resmi yang sudah bertahun-tahun menjaga kualitas pendidikan kini harus bersaing tidak sehat dengan sekolah liar yang justru difasilitasi pemerintah. Kondisi ini dikhawatirkan akan membuat dunia pendidikan semakin carut-marut dan menciptakan preseden buruk: aturan bisa diterabas demi kepentingan politik.
Kini, mata publik tertuju pada keberanian aparat penegak hukum dan pemerintah pusat untuk menindak tegas pelanggaran yang terjadi. Masyarakat bertanya-tanya, apakah hukum akan benar-benar ditegakkan, atau justru dibiarkan begitu saja demi melindungi kepentingan elite tertentu.
Kasus SMA Siger menjadi ujian besar bagi transparansi, integritas, dan keadilan di dunia pendidikan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin wajah pendidikan Bandar Lampung semakin suram dan generasi muda akan menjadi korban kebijakan arogan yang mengabaikan aturan negara.***