DJADIN MEDIA – Dunia pendidikan di Kota Bandar Lampung kembali diguncang isu besar. Kali ini, sorotan publik tertuju pada SMA Siger, sekolah swasta yang diduga beroperasi secara ilegal dengan memanfaatkan aset negara tanpa izin resmi. Praktisi hukum, Hendri Adriansyah SH, MH, mengungkapkan bahwa kasus ini berpotensi menyeret dua pihak sekaligus: BPKAD Bandar Lampung dan pihak pengelola SMA Siger, yang juga seorang ASN di SMP Negeri.
Menurut Hendri, indikasi kuat pelanggaran hukum terlihat dari penggunaan gedung, sarana prasarana, serta fasilitas operasional SMP Negeri untuk mendukung penerimaan murid baru hingga kegiatan belajar mengajar SMA Siger. Fakta ini disebutnya sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bisa dijerat Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 480 KUHP tentang penadahan.
“Penggunaan aset negara itu ada mekanismenya. Pertanyaannya, apakah ada dokumen resmi dari biro aset Pemkot yang menyatakan bahwa gedung SMP Negeri dipinjam untuk Yayasan SMA Siger? Kalau tidak ada, itu bisa dikategorikan penggelapan aset,” tegas Hendri, Jumat (12/09/2025).
Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 yang diperbarui menjadi Permendagri Nomor 7 Tahun 2024 dengan jelas mengatur pedoman pengelolaan barang milik daerah. Salah satu poin penting adalah prosedur pinjam pakai aset daerah yang hanya dapat dilakukan antar instansi pemerintahan, bukan dengan lembaga swasta atau yayasan non-pemerintah.
Ironisnya, menurut informasi yang berkembang, SMA Siger justru dikaitkan dengan kebijakan kontroversial Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana, yang belakangan dijuluki *The Killer Policy*. Hal ini memperkuat dugaan bahwa berdirinya SMA Siger sarat kepentingan politik sekaligus praktik penyalahgunaan kewenangan.
Sementara itu, staf di Bidang Aset BPKAD Bandar Lampung menyebutkan hingga kini tidak ada satu pun berkas permohonan pinjam pakai yang diajukan oleh pihak SMA Siger. “Belum ada berkas masuk ke sini. Kalau soal sekolah Siger, sejauh ini memang tidak ada dokumen administrasi,” ujar salah satu staf yang enggan disebutkan namanya.
Namun, pernyataan itu justru bertolak belakang dengan keterangan Mulyadi, Kabid Dikdas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung. Mulyadi menyebut administrasi pinjam pakai sudah ada, meski saat ditanya bukti dokumentasi, ia enggan menunjukkannya. Jawaban yang dinilai kabur ini semakin menambah kecurigaan publik akan adanya praktik penyalahgunaan prosedur.
Hendri Adriansyah menilai kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius aparat penegak hukum. Ia bahkan mengingatkan publik untuk belajar dari kasus Yayasan Supersemar di era Presiden Soeharto. Yayasan yang awalnya dibentuk untuk kepentingan pendidikan justru menjadi pintu masuk praktik korupsi berskala besar. “Kita tidak ingin sejarah kelam itu terulang. Jangan sampai pendidikan hanya dijadikan kedok untuk memperkaya segelintir orang,” ujarnya.
Kasus SMA Siger kini menjadi bola panas. Selain mencoreng wajah dunia pendidikan, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi pengelolaan aset daerah di Kota Bandar Lampung. Jika dugaan penggelapan terbukti, maka BPKAD dan pihak pengelola sekolah tidak hanya terancam pidana, tetapi juga berpotensi menghadapi tuntutan publik yang lebih luas.***