DJADIN MEDIA – Dunia pendidikan di Lampung tengah diguncang isu besar yang menyeret nama Gubernur Rahmat Mirzani Djausal (RMD) dan DPRD Provinsi Lampung. Fakta mencengangkan terungkap: keberadaan SMA Swasta Siger yang beroperasi secara ilegal di dua lokasi berbeda, yakni Siger 1 di Kecamatan Bumi Waras dan Siger 2 di Way Halim, telah berlangsung cukup lama tanpa izin resmi, tanpa pengawasan, bahkan tanpa tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Situasi ini membuat publik bertanya-tanya: bagaimana mungkin sekolah yang tidak memiliki dasar hukum bisa tetap menerima siswa, mengajar, hingga melakukan aktivitas layaknya sekolah formal? Bukankah pengawasan penuh pendidikan menengah berada langsung di bawah kendali Pemprov Lampung?
Rahmat Mirzani Djausal, yang sebelumnya dikenal sebagai politisi kawakan Partai Gerindra dan pernah menjabat lebih dari satu periode sebagai anggota legislatif, justru dinilai gagal menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan. Sejak kasus SMA Siger mencuat, tidak ada langkah nyata yang dilakukan oleh Gubernur maupun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Lampung di bawah komando Thomas Amirico. Baik Gubernur maupun Kadisdikbud terpantau tidak pernah turun langsung ke lapangan untuk memastikan kebenaran aktivitas sekolah tersebut.
Kondisi ini semakin memperburuk wajah pendidikan Lampung. Praktisi hukum telah mengingatkan, penyelenggara SMA Siger berpotensi terjerat tindak pidana berat, mulai dari korupsi, penggelapan aset negara, hingga penadahan barang hasil penggelapan. Artinya, skandal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga berpotensi menyeret banyak pihak ke ranah hukum.
Yang lebih menyakitkan, para siswa dari keluarga pra sejahtera yang mendaftar di sekolah ini kini terancam masa depannya. Mereka yang datang dengan niat menimba ilmu demi memperbaiki nasib keluarga, justru terjebak dalam sekolah ilegal yang ijazahnya tidak diakui negara. Artinya, mereka bisa kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau masuk ke dunia kerja dengan legalitas yang sah.
Sementara itu, DPRD Lampung yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol justru memilih bungkam. Tidak ada satupun langkah tegas atau suara kritis yang muncul dari anggota dewan, termasuk dari dua legislator perempuan, Heti Friskatati dan Mayang Suri Djausal. Padahal, sebagai ibu sekaligus wakil rakyat, mestinya mereka lebih peka terhadap nasib generasi muda yang kini terancam kehilangan hak dasar pendidikan.
Publik pun mendesak agar Pemprov Lampung segera mengambil langkah konkret. Pemerintah diminta menutup sekolah ilegal tersebut, menyelamatkan para siswa dengan cara memfasilitasi mereka pindah ke sekolah resmi, serta menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah liar itu. Jika tidak, kasus ini hanya akan menambah catatan kelam dunia pendidikan Lampung dan memperkuat stigma bahwa kepentingan politik lebih diprioritaskan daripada masa depan anak bangsa.
Skandal SMA Siger menjadi pukulan telak bagi wajah pendidikan di Lampung. Pertanyaan besar kini menggema: sampai kapan pemerintah dan DPRD akan terus diam, sementara ratusan anak dari keluarga pra sejahtera terancam menjadi korban dari kelalaian dan kepentingan segelintir pihak? Jika dibiarkan, bukan hanya masa depan generasi muda yang hancur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah akan runtuh.***