DJADIN MEDIA- Bandar Lampung tengah menunggu sejarah besar yang bisa mengguncang panggung politik lokal sekaligus mencuri perhatian nasional. Desakan agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung memakzulkan Wali Kota Eva Dwiana semakin kuat bergema. Kasus ini bahkan mulai dibandingkan dengan fenomena nasional di masa lalu, seperti pemakzulan Bupati Garut Aceng Fikri yang sempat menjadi viral di seluruh Indonesia.
Meski konteksnya berbeda jauh, namun benang merahnya sama: adanya dugaan pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Eva Dwiana diduga melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Indikasi pelanggaran muncul dari penyelenggaraan Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Siger yang dinilai menyalahi prosedur hukum dan regulasi pendidikan nasional.
Kasus ini mencuat setelah Danny Waluyo Jati, pegawai pelayanan administrasi Lembaga Pendidikan Masyarakat (LPM) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung, memberikan keterangan pada Rabu, 8 Oktober 2025. Ia menegaskan bahwa setiap yayasan atau lembaga pendidikan baru wajib mengajukan izin resmi kepada Kepala Disdikbud dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Tanpa izin tersebut, aktivitas pendidikan tidak boleh berjalan.
Syarat mendirikan sekolah pun diatur dengan jelas. Minimal, lembaga harus memiliki aset tetap berupa tanah dan bangunan, serta menyusun struktur manajemen pendidikan yang mencakup kepala sekolah, tenaga pendidik, hingga kurikulum. Ketentuan ini tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023 Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 7. Namun, dalam praktiknya, SMA Swasta Siger sudah beroperasi dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Kota Bandar Lampung, padahal belum mengantongi izin resmi dari pemerintah provinsi.
Pelanggaran tersebut tidak hanya bertentangan dengan Permendikbudristek, tetapi juga dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal-pasal dalam undang-undang itu menegaskan bahwa penyelenggara satuan pendidikan tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan denda mencapai miliaran rupiah. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa Eva Dwiana, sebagai kepala daerah, telah lalai menjalankan sumpah dan janji jabatan untuk menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.
Dalam wawancara terpisah pada Rabu, 17 September 2025, Kepala SMA Swasta Siger, Thomas Amirico, secara terbuka mengakui bahwa sekolah yang ia pimpin belum memiliki izin. “Enggak, kan belum berizin, rencananya juga kan baru tahun depan,” ujar Thomas saat ditanya apakah sekolahnya sudah diundang dalam rapat koordinasi SPMB tahun ajaran 2026/2027. Pernyataan ini menjadi bukti nyata bahwa kegiatan pendidikan berlangsung tanpa legalitas yang sah.
Masalah menjadi semakin kompleks ketika diketahui bahwa Pemerintah Kota Bandar Lampung seolah menutup mata terhadap praktik tersebut. Padahal, sesuai Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2016 Pasal 2 Bab 3, pengawasan dan pembinaan pendidikan menengah merupakan wewenang penuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi. Artinya, tidak ada ruang bagi pemerintah kota untuk bertindak sepihak dalam urusan ini.
Dugaan pelanggaran sumpah jabatan oleh Eva Dwiana kini menjadi sorotan tajam publik dan pemerhati hukum di Lampung. Banyak pihak menilai DPRD harus mengambil langkah tegas untuk menegakkan supremasi hukum dan menjaga marwah pemerintahan daerah. Jika DPRD berani melangkah hingga proses pemakzulan, sejarah baru akan tercipta di bumi Sang Bumi Ruwa Jurai — sebuah langkah berani yang bisa mengubah wajah politik Bandar Lampung selamanya.
Pertanyaannya kini: apakah DPRD Kota Bandar Lampung memiliki keberanian untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Agung dan mengajukan rekomendasi pemberhentian kepala daerah kepada Presiden atau Menteri Dalam Negeri? Jika itu terjadi, peristiwa ini bukan hanya akan menjadi babak baru dalam sejarah politik lokal, tetapi juga simbol kebangkitan moral dan penegakan hukum di tengah kuatnya aroma politik dinasti.
Gelombang desakan publik kian deras. Warga menuntut transparansi dan keadilan. Mereka ingin melihat DPRD tidak lagi hanya menjadi penonton dalam panggung politik yang sering kali penuh kompromi. Di tengah sorotan nasional yang semakin tajam, keputusan DPRD akan menjadi ujian besar bagi integritas lembaga legislatif daerah.
Jika langkah pemakzulan benar-benar diambil, maka Kota Tapis Berseri akan mencatatkan sejarahnya sendiri—bukan karena skandal, tetapi karena keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Bandar Lampung bisa menjadi simbol baru bahwa integritas politik masih mungkin hidup di tengah derasnya arus kekuasaan.***