DJADIN MEDIA– Dunia sastra tanah air kembali diguncang oleh kehadiran karya puitis yang menggigit dari penyair muda asal Kota Bandar Lampung, Muhammad Alfariezie. Setelah sukses memperkenalkan diri lewat novel debutnya berjudul Rumah Darah, kini ia kembali menorehkan tinta dengan karya yang jauh lebih provokatif berjudul Sekolah di Istana Para Dewi.
Puisi ini tidak hanya menawarkan keindahan bahasa dan simbolisme yang kuat, tetapi juga mengandung kritik sosial yang berani terhadap sistem pendidikan di Indonesia, khususnya menyangkut praktik-praktik penyalahgunaan anggaran dan hilangnya nilai moral dalam pengelolaan yayasan pendidikan.
Alfa, demikian ia disapa, merumuskan karya ini sebagai refleksi dari ironi sosial yang selama ini diam-diam terjadi: institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pencerahan justru berubah menjadi sarang kekuasaan, tempat di mana nilai kejujuran dan transparansi dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak. Dalam wawancara singkatnya, Alfa menyebut bahwa ia terinspirasi oleh fenomena nyata di lapangan, di mana banyak lembaga pendidikan berstatus yayasan menerima dana besar dari negara tanpa kejelasan kegiatan atau hasil nyata.
Dalam puisinya, ia menuliskan dengan nada satire dan sindiran yang tajam:
Yayasa Prakarsa Bunda
entah di mana kantornya
tapi menerima anggaran
bangun sekolah dari pemerintah
meski belum tentu muridnya resmi berijazah
Mungkin kantornya di kontrakan wali kota
sebab bisa jadi dia yang punya
Barangkali sekretariatnya di istana para dewi
sebab yayasan ini sungguh bermisteri
Kami bertanya ke para guru
namun mereka enggak ada yang tahu
Kami bertanya kepada murid
tapi perasaan seperti tergigit
Sekolah penerima APBD
yang katanya semua gratis
ternyata jual beli buku: sadis!
Yayasan Prakarsa Bunda
siapa yang punya?
2025
Puisi ini dibuka dengan gambaran yang penuh tanya. “Entah di mana kantornya tapi menerima anggaran bangun sekolah dari pemerintah” menjadi pukulan pertama terhadap ironi lembaga pendidikan yang mengelola dana publik tanpa transparansi. Kalimat sederhana itu menyimpan sindiran mendalam tentang birokrasi yang penuh kabut dan kekuasaan yang tak tersentuh hukum.
Alfa kemudian membawa pembaca pada metafora “istana para dewi”, yang bukan sekadar tempat mewah, melainkan simbol kekuasaan dan elitisme. Ia menyingkap bagaimana dunia pendidikan terkadang dikuasai oleh segelintir kelompok yang hidup dalam kemewahan, jauh dari realitas rakyat kecil. Diksi “dewi” menjadi kontras terhadap kenyataan sosial yang getir: kemuliaan yang seharusnya menjadi sumber kasih dan pengetahuan justru berubah menjadi lambang keserakahan yang terselubung.
Bagian tengah puisi memperlihatkan absurditas pendidikan yang kehilangan arah. Guru digambarkan tidak tahu, murid digambarkan bingung. Baris “kami bertanya ke para guru namun mereka enggak ada yang tahu” menunjukkan hilangnya peran pendidik sebagai pilar pengetahuan. Sementara itu, “kami bertanya kepada murid tapi perasaan seperti tergigit” mencerminkan rasa sakit sosial yang dialami generasi muda — mereka menjadi korban sistem yang gagal membimbing dan melindungi.
Klimaks puisi hadir pada baris “Sekolah penerima APBD yang katanya semua gratis, ternyata jual beli buku: sadis!” Ungkapan “sadis” bukan sekadar hiperbola, melainkan ungkapan kemarahan sosial terhadap praktik komersialisasi pendidikan. Dalam konteks ini, Alfariezie tidak hanya menulis puisi, tetapi mengajukan tudingan moral kepada sistem pendidikan yang telah kehilangan roh pengabdiannya.
Pertanyaan penutup, “Yayasan Prakarsa Bunda, siapa yang punya?” menjadi refleksi mendalam tentang kepemilikan makna pendidikan itu sendiri. Siapa sebenarnya yang menguasai pendidikan? Apakah rakyat yang membiayainya, atau para elit yang bersembunyi di balik simbol-simbol filantropi dan nama-nama lembaga besar?
Secara simbolik, puisi ini dapat dirumuskan dalam formula sosial yang getir:
(Yayasan + Anggaran Negara) – (Transparansi + Integritas) = Korupsi Sosial
Melalui puisi ini, Alfariezie menghadirkan wajah pendidikan Indonesia yang dipenuhi kabut misteri dan kepentingan. Ia tidak hanya berbicara tentang satu yayasan, melainkan tentang fenomena sistemik di mana pendidikan dijadikan alat kekuasaan, bukan sarana pembebasan.
Karya *Sekolah di Istana Para Dewi* pun mengingatkan publik bahwa pendidikan sejatinya bukan sekadar proyek pembangunan fisik, tetapi pembangunan moral dan karakter bangsa. Ketika pendidikan telah berubah menjadi bisnis, maka yang runtuh bukan hanya sekolah, melainkan juga fondasi etika dan masa depan bangsa itu sendiri.
Puisi ini bukan hanya karya sastra, tetapi juga bentuk perlawanan budaya terhadap hegemoni kekuasaan dan kemunafikan birokrasi. Dalam kesederhanaan bahasanya, Alfariezie menelanjangi wajah sistem yang seharusnya suci, namun telah ternoda oleh kepentingan. Ia menegaskan bahwa selama masih ada “yayasan-yayasan misterius” yang hidup dari uang rakyat, maka pendidikan di negeri ini hanya akan menjadi “istana para dewi” — megah di luar, kosong di dalam.***

