DJADIN MEDIA– Publik Lampung kembali digegerkan dengan kontroversi SMA Siger, sekolah swasta yang dibangun atas inisiasi Wali Kota Eva Dwiana, yang kini dikenal dengan istilah “The Killer Policy”. Skandal ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menjadi simbol krisis etika dan tata kelola pemerintahan daerah yang mengkhawatirkan.
SMA Siger disebut ilegal karena penerbitan izinnya bertentangan dengan Perda Nomor 9 Tahun 2016, yang menegaskan bahwa pengelolaan dan penerbitan izin sekolah menengah berada di bawah wewenang pemerintah provinsi, bukan kota. Meski demikian, sekolah ini tetap beroperasi secara bebas, bahkan menjual modul pembelajaran secara ilegal kepada peserta didiknya, yang seharusnya dilarang berdasarkan regulasi pendidikan nasional.
Publik kini mempertanyakan peran Gubernur Lampung dan DPRD Provinsi. Tercatat, Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Yanuar Irawan dari PDI Perjuangan, tidak pernah menanggapi permohonan klarifikasi terkait izin dan pengelolaan SMA Siger, meski mal administrasi telah dilaporkan oleh puluhan kepala sekolah swasta di Kota Bandar Lampung. Rapat dengar pendapat yang digelar di ruang Komisi V pun dianggap sia-sia, menghabiskan anggaran negara dan biaya transportasi kepala sekolah tanpa menghasilkan keputusan tegas.
Ironisnya, DPRD Kota Bandar Lampung terlihat lebih mendukung penyelenggaraan SMA Siger daripada mengawasi kepatuhan hukum. Sidak yang dilakukan hanya bersifat simbolik, dan Ketua Komisi 4 DPRD Bandar Lampung, Asroni Paslah, enggan mengklarifikasi praktik ilegal sekolah terkait, termasuk jual beli modul. Ketua DPRD Kota Bandar Lampung, Bernas, juga tidak memberikan pernyataan resmi.
Selain itu, SMA Siger dilaporkan menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (MBG) tanpa prosedur sah, termasuk data dapodik yang seharusnya diverifikasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Publik mempertanyakan transparansi pengelolaan yayasan sekolah ini. Beberapa sumber menyebut Ketua Yayasan adalah Khaidirsyah, sedangkan wali murid lain mengklaim ketuanya adalah eks Kadis Pendidikan Kota Metro. Ketidakjelasan ini menambah keraguan masyarakat terhadap integritas dan legalitas sekolah.
Praktik ini menimbulkan banyak pertanyaan kritis: Mengapa eksekutif dan legislatif provinsi Lampung tampak diam, padahal Perda Nomor 9 Tahun 2016 jelas menyandera kewenangan mereka? Siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab atas aliran dana dan aset pemerintah kota yang digunakan untuk menyelenggarakan SMA ilegal ini?
Publik pun menyoroti peran penegak hukum. Laporan resmi telah disampaikan ke Polda Lampung terkait dugaan penyelenggaraan SMA ilegal ini, tetapi laporan tersebut diubah menjadi dumas dengan alasan Lex Spesialis. Hingga satu minggu menunggu, pelapor belum menerima panggilan resmi, menimbulkan kesan bahwa proses hukum terhambat dan sulit diakses masyarakat.
Skandal SMA Siger ini mencerminkan bagaimana kebijakan daerah dapat “menyerobot” kewenangan provinsi, sementara pengawasan, etika pemerintahan, dan tata kelola publik mengalami keruntuhan. Praktik ilegal yang terbuka, dukungan dari DPRD kota, dan diamnya pemerintah provinsi memperlihatkan persoalan serius dalam sistem checks and balances di Lampung.***

