• Biolink
  • Djadin Media
  • Network
  • Sample Page
Sunday, November 9, 2025
  • Login
Djadin Media
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
Djadin Media
No Result
View All Result
Home Daerah

Budiyono: Intelektual Organik yang Menyalakan Bara Kesadaran di Tengah Gelapnya Ketimpangan Sosial

MeldabyMelda
October 20, 2025
in Daerah
0
Budiyono: Intelektual Organik yang Menyalakan Bara Kesadaran di Tengah Gelapnya Ketimpangan Sosial

DJADIN MEDIA- Dalam dunia akademik yang kerap terjebak dalam rutinitas administratif dan kompetisi publikasi ilmiah, sosok seperti Budiyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, menjadi pengecualian yang langka. Ia bukan sekadar pengajar teori hukum, tetapi seorang intelektual organik yang menghidupkan pengetahuan sebagai alat pembebasan sosial. Di tengah arus pragmatisme pendidikan tinggi yang sering melupakan nilai-nilai kemanusiaan, Budiyono hadir sebagai mercusuar pemikiran progresif yang menautkan intelektualitas dengan perjuangan rakyat.

Konsep “intelektual organik” yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks menemukan relevansinya pada figur Budiyono. Gramsci menegaskan bahwa setiap kelas sosial yang berjuang untuk dominasi politik membutuhkan intelektualnya sendiri—mereka yang tidak hanya berpikir dari balik menara gading, tetapi turut menyalakan kesadaran kelas dan membangun hegemoni tandingan terhadap kekuasaan dominan. Budiyono mewujudkan gagasan itu dengan menjadi penghubung antara ruang akademik dan ruang perjuangan sosial.

Bagi Budiyono, hukum bukan sekadar kumpulan pasal atau teks formal yang kaku. Dalam setiap kuliahnya, ia mengajarkan mahasiswa untuk melihat hukum sebagai arena pertarungan ideologis, tempat kekuasaan dan keadilan saling berhadapan. Ia mengajarkan bahwa hukum dapat menjadi alat penindasan bila dilepaskan dari nilai kemanusiaan, tetapi juga dapat menjadi alat pembebasan bila dijalankan dengan keberpihakan pada rakyat. Melalui metode pengajarannya yang dialogis dan kritis, ia menumbuhkan keberanian berpikir di kalangan mahasiswa agar tidak hanya memahami hukum, tetapi juga berani mempertanyakan dan memperjuangkan maknanya.

Namun, Budiyono tidak berhenti di ruang kelas. Ia melangkah keluar, turun langsung ke lapangan, menghadiri forum-forum rakyat, dan ikut dalam advokasi sosial. Ia mendampingi petani yang tanahnya terancam digusur, membela hak-hak buruh yang terabaikan, dan berdiri bersama mahasiswa yang memperjuangkan transparansi kebijakan publik. Dalam setiap aksi, ia hadir bukan sebagai penonton, melainkan sebagai pelaku aktif. Baginya, netralitas akademik adalah mitos—karena setiap pengetahuan pada hakikatnya berpihak. Dan Budiyono telah menentukan keberpihakannya: kepada mereka yang tertindas dan terpinggirkan oleh sistem.

Sikap ini menunjukkan betapa dalamnya komitmen moral seorang intelektual sejati. Dalam era ketika banyak akademisi mengejar indeks sitasi, akreditasi jurnal, atau posisi birokratis, Budiyono justru menambatkan reputasinya pada kerja sosial konkret. Ia menolak menjadikan ilmu sebagai komoditas, melainkan memaknainya sebagai alat transformasi sosial. Ia menolak universitas menjadi korporasi pengetahuan yang menjual ijazah, dan menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi ruang publik yang kritis—tempat mahasiswa belajar membaca realitas dan berani mengubahnya.

Pandangan Budiyono ini beririsan dengan gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, yang memandang pendidikan sebagai praksis kebebasan. Dalam semangat itu, Budiyono mengembangkan pendekatan “pendidikan hukum yang membebaskan”: pendidikan yang mengajak mahasiswa memahami realitas sosial, bukan hanya menghafal undang-undang. Ia mendorong agar setiap mahasiswa memiliki kepekaan terhadap ketimpangan, sehingga ilmu hukum tidak berhenti menjadi teori normatif, tetapi menjadi sarana membangun keadilan substantif.

Kontribusinya tidak hanya dalam bidang akademik dan advokasi, tetapi juga dalam membangun tradisi intelektual progresif di Lampung. Ia melahirkan generasi muda pemikir kritis, aktivis sosial, dan pembela keadilan yang mengadopsi nilai-nilainya. Melalui diskusi, tulisan, dan aksi, Budiyono menjadi figur penggerak yang menanamkan kesadaran bahwa berpikir kritis harus diiringi dengan tindakan nyata. Ia menolak pemisahan antara teori dan praktik, antara kampus dan rakyat, antara berpikir dan berjuang.

Salah satu ciri khas Budiyono adalah keberaniannya menyuarakan kebenaran, bahkan ketika suara itu melawan arus. Ia memahami bahwa keberanian intelektual bukan diukur dari banyaknya tulisan, tetapi dari sejauh mana pemikiran itu mengubah realitas. Dalam pandangannya, intelektual sejati adalah mereka yang sanggup “menanggung risiko sosial” atas pandangan dan keberpihakannya. Karena itu, tidak mengherankan jika Budiyono kerap menjadi rujukan moral dan inspirasi bagi banyak kalangan akademisi dan aktivis muda di Lampung.

Kini, di usianya yang ke-51 tahun pada 19 Oktober 2025, Budiyono tetap aktif mengajar, menulis, dan turun ke masyarakat. Ia tidak pernah lelah mengingatkan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang berakar pada realitas dan berbuah pada perubahan. Dalam setiap langkahnya, ia membuktikan bahwa menjadi dosen bukan hanya profesi, melainkan panggilan intelektual dan moral untuk menegakkan martabat manusia.

Budiyono adalah refleksi nyata dari apa yang disebut Gramsci sebagai pemimpin intelektual organik: sosok yang tidak hanya memproduksi wacana, tetapi juga menghidupi nilai-nilai perjuangan dalam praktik sosial. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan sejati bukan yang memisahkan diri dari masyarakat, melainkan yang tumbuh dari denyut nadi rakyat dan kembali untuk mereka.

Ketika dunia akademik semakin tenggelam dalam birokratisasi dan komersialisasi, sosok seperti Budiyono menjadi pengingat bahwa tugas seorang intelektual sejati adalah menjaga agar ilmu tidak tercerabut dari nurani. Melalui kerja, dedikasi, dan ketulusannya, ia menegaskan bahwa pengetahuan tanpa keberpihakan hanyalah kehampaan, dan keberpihakan tanpa pengetahuan hanyalah keberanian tanpa arah. Dalam dirinya, dua hal itu bersatu menjadi kekuatan moral yang menginspirasi banyak generasi untuk terus menyalakan api kesadaran dan perjuangan sosial.***

Source: ALFARIEZIE
Tags: #BudiyonoAntonioGramsciDosenBergerakGhraitoAripIntelektualOrganikPauloFreirePendidikanPembebasanUniversitasLampung
Previous Post

Lapas Kalianda dan BNNK Lampung Selatan Kolaborasi Jalankan Rehabilitasi Sosial, Wujudkan Pemasyarakatan Bersih Narkoba

Next Post

Kasus Perampokan Gadis Wonosobo Ternyata Rekayasa! Polisi Bongkar Fakta Mengejutkan di Balik Cerita Viral

Next Post
Kasus Perampokan Gadis Wonosobo Ternyata Rekayasa! Polisi Bongkar Fakta Mengejutkan di Balik Cerita Viral

Kasus Perampokan Gadis Wonosobo Ternyata Rekayasa! Polisi Bongkar Fakta Mengejutkan di Balik Cerita Viral

Facebook Twitter

Alamat Kantor

Perumahan Bukit Billabong Jaya Blok C6 No. 8,
Langkapura, Bandar Lampung
Email Redaksi : lampunginsider@gmail.com
Nomor WA/HP : 081379896119

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In