DJADIN MEDIA — Di tengah dinamika sosial-politik Kota Bandar Lampung, seorang penyair muda, Muhammad Alfariezie, muncul sebagai suara kritis yang memadukan kecerdasan imajistik dengan keberanian bersuara. Karya-karyanya, termasuk puisi berjudul Benih Khianat di Kota Merdeka, tidak hanya menampilkan kemampuan artistik, tetapi juga menjadi alat kritik sosial dan politik yang kuat, menyingkap berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal.
Alfariezie dikenal karena kepiawaiannya menyisipkan citraan abstrak ke dalam pamflet puitis, menjadikan setiap kata sebagai medium visual yang menggugah kesadaran moral pembaca. Di Benih Khianat di Kota Merdeka, ia secara tegas menyoroti perilaku pejabat publik yang dianggap mengkhianati prinsip kemerdekaan dan keadilan rakyat.
Analisis Imajistik dan Sosial-Politik
Puisi ini dapat dibaca melalui lensa teori Imajisme (Imagism) yang diperkenalkan Ezra Pound dan Amy Lowell, di mana kejelasan citraan, kesederhanaan bahasa, dan kepadatan makna menjadi fokus utama. Imaji dalam puisi Alfariezie berfungsi sebagai alat berpikir dan penyampaian pesan sosial-politik secara visual, bukan sekadar ornamen bahasa.
Benih Khianat di Kota Merdeka
Masa depan Bandar Lampung
enggak boleh tumbuh dari
benih-benih khianat wali kota
Bandar Lampung bercita-cita
Sama dengan Indonesia
Kota ini terhina jika menjebak
siswa untuk enggak berijazah
demi ide penggila mencuil
duit negara
Kasihan jika nanti sulit
membangun hijau klan digital
Kasihan bila ke depan terus
mengurus pra sejahtera
Kota ini merdeka bukan untuk
mereka yang bejat! Daulat
rakyat untuk kita yang hebat
2025
Imaji Sebagai Gambar Moral dan Sosial
Larik pembuka puisi ini menegaskan konsep moral melalui simbolisasi benih:
“Masa depan Bandar Lampung
enggak boleh tumbuh dari
benih-benih khianat wali kota”
Imaji “benih khianat” melukiskan tindakan korup dan kebijakan busuk yang dapat merusak masa depan. Alfariezie menekankan bahwa kemajuan sebuah kota tidak dapat lahir dari fondasi yang korup, sehingga pembaca diajak merenung tentang konsekuensi sosial dari perilaku penguasa yang menyimpang.
Imaji Nasional dan Kontras Realitas
Larik:
“Bandar Lampung bercita-cita
Sama dengan Indonesia”
menunjukkan aspirasi ideal kota sebagai cerminan negara. Namun, citraan ini kemudian dikontraskan dengan realitas pahit: “menjebak siswa untuk enggak berijazah demi ide penggila mencuil duit negara.” Kontras ini menciptakan ketegangan visual dan moral yang memaksa pembaca menyaksikan dualitas: aspirasi tinggi versus kebusukan nyata.
Imaji Kasihan dan Luka Kolektif
Repetisi kata “kasihan” menghadirkan imaji empatik:
“Kasihan jika nanti sulit
membangun hijau klan digital”
“Kasihan bila ke depan terus
mengurus pra sejahtera”
“Hijau klan digital” menjadi simbol modernisasi dan keberlanjutan, namun kata “kasihan” menekankan bahwa masyarakat masih terhambat oleh kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan umum. Imaji ini membangun narasi kesadaran kolektif, mengundang pembaca merasakan kepedihan sosial yang nyata.
Imaji Politik dan Energi Revolusi
Klimaks puisi muncul pada larik:
“Kota ini merdeka bukan untuk
mereka yang bejat! Daulat
rakyat untuk kita yang hebat”
Di sini, Alfariezie menggunakan bahasa visual untuk membangkitkan semangat perlawanan. “Daulat rakyat” menjadi simbol aksi kolektif dan kedaulatan moral yang harus ditegakkan, bukan sekadar retorika kosong. Imaji ini menegaskan pentingnya peran rakyat dalam menegakkan keadilan dan kebebasan kota.
Fungsi Imaji dalam Kritik Sosial
Puisi ini menunjukkan bagaimana citraan abstrak—benih khianat, hijau klan digital, kota merdeka, daulat rakyat—berfungsi sebagai alat kritik sosial dan politik yang efektif. Imaji tidak hanya menggambarkan kondisi, tetapi juga mengubah bahasa menjadi senjata moral, membuat pembaca tidak hanya membayangkan, tetapi merasakan luka dan kompleksitas harapan masyarakat Bandar Lampung.
Struktur imaji dalam puisi bergerak dari kritik terhadap individu (wali kota), refleksi sosial (kota), hingga semangat nasional (rakyat), menunjukkan kemampuan Alfariezie dalam mengintegrasikan estetika dan pesan moral-politik.
Imajistik – Sosial Politik: Manifesto Bahasa Puitik
Benih Khianat di Kota Merdeka berhasil menggabungkan gaya imajistik dengan kritik sosial-politik yang tajam. Setiap imaji bersifat komunikatif, membangun kesadaran politik dan moral, sekaligus menegaskan bahwa kemerdekaan sejati sebuah kota hanya dapat tumbuh dari fondasi kejujuran, keberpihakan pada rakyat, dan tindakan nyata yang berpihak pada kesejahteraan umum.***

