DJADIN MEDIA— Aroma ketidakberesan dalam penyelenggaraan SMA swasta Siger kembali mencuat ke permukaan. Laporan penggiat publik Abdullah Sani ke Polda Lampung pada September 2025 membuka kembali tabir lama yang sempat diabaikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD Bandar Lampung.
Masalah ini bermula dari pembukaan penerimaan murid baru SMA Siger pada 9–10 Juli 2025. Saat itu, sejumlah anggota DPRD Provinsi Lampung sempat mengingatkan Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung Eka Afriana, serta DPRD Kota, terkait legalitas penggunaan aset negara dalam operasional sekolah tersebut. Namun, peringatan itu seolah tak dihiraukan.
Berdasarkan laporan LE News.id, Abdullah Sani tidak sendirian dalam mengkritisi kebijakan tersebut. Sebelumnya, pada 11 Juli 2025, Andika Wibawa dari media yang sama telah lebih dulu mengangkat isu pelanggaran perlindungan anak dalam kasus ini. Ia menyebut bahwa penyelenggaraan SMA Siger berpotensi merugikan hak-hak siswa karena status sekolah yang belum jelas secara hukum.
“Jangan sampai anak-anak sudah sekolah, tapi ijazahnya tidak bisa diterbitkan. Itu merugikan hak mereka,” ujar Andika.
Selain kritik dari kalangan media, suara keras juga datang dari sejumlah politisi. Ketua DPW PKS Lampung Ade Utami Ibnu menilai Pemkot dan DPRD Kota Bandar Lampung seolah mengabaikan aspek keadilan dalam kebijakan pendidikan tersebut. Menurutnya, Pemkot justru memanfaatkan program pendidikan gratis untuk menutupi konflik kepentingan yang berpotensi menguras anggaran daerah tanpa memperhatikan keberadaan sekolah swasta yang sudah lama beroperasi.
“Kalau benar untuk kepentingan rakyat, seharusnya anggaran pendidikan bisa disalurkan ke sekolah-sekolah swasta yang sudah ada. Banyak sekolah swasta di Bandar Lampung yang muridnya sedikit dan gurunya kekurangan jam mengajar,” tegas Ade Utami, dikutip dari Axelerasi.id pada 14 Juli 2025.
Ia juga mengingatkan agar Pemkot tidak asal membangun sekolah baru tanpa memperhatikan regulasi dan dampaknya terhadap ekosistem pendidikan yang sudah mapan. “Sebelum menerima siswa, sekolah wajib memiliki izin operasional resmi. Jangan sampai sekolah berdiri dulu, baru izin menyusul,” tambahnya.
Namun kenyataan berkata lain. SMA Siger tetap beroperasi meski belum memiliki izin resmi dari pemerintah provinsi. Kondisi ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara Disdikbud Kota Bandar Lampung dan Disdikbud Provinsi Lampung yang dipimpin oleh Rahmat Mirzani Djausal dan Thomas Americo.
Pegawai bidang pelayanan SMA Disdikbud Bandar Lampung, Danny Waluyo Jati, sempat mengungkap bahwa setiap pendirian sekolah baru wajib memiliki aset berupa tanah dan bangunan atas nama yayasan, bukan perorangan atau pemerintah. Ironisnya, sekolah Siger diketahui berdiri di atas lahan Terminal Panjang yang dialihfungsikan oleh Wali Kota Eva Dwiana menjadi gedung sekolah.
Langkah itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah aset negara tersebut akan berpindah tangan menjadi milik pribadi Dr. Khaidarmansyah, yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda? Jika benar, maka potensi pelanggaran administrasi dan penyalahgunaan aset negara tidak bisa diabaikan begitu saja.
Polemik ini kian panas karena hingga kini belum ada kejelasan hukum atas status sekolah tersebut. Publik menilai Pemkot dan DPRD Kota Bandar Lampung seolah saling menutup mata, sementara tanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak justru terabaikan.
Kasus SMA Siger bukan sekadar persoalan perizinan, tetapi menjadi cerminan lemahnya tata kelola pendidikan dan transparansi penggunaan aset publik di Bandar Lampung. Jika tidak segera diselesaikan, kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah lain di Indonesia.***
