Oleh M. Iqbal Farochi, Mahasiswa Magister UNJ
DJADIN MEDIA– Drama hukum ala Indonesia kembali mencuri perhatian publik. Kasus dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia (BI) dan OJK kini menjadi sorotan, bukan hanya karena nominalnya yang fantastis, tetapi juga cara “pertunjukan” yang berjalan seolah sudah diatur skripnya. Alur cerita lengkap dengan pemeran utama yang masih berkeliaran bebas ini membuat publik bertanya-tanya: siapa yang benar-benar bertanggung jawab?
Tersangka kasus ini, anggota DPR RI Komisi XI Satori dan Heri Gunawan, hingga kini belum ditahan. Publik mempertanyakan logika di balik penanganan kasus ini. Bagaimana mungkin dana puluhan miliar yang berasal dari lembaga keuangan sekelas BI dan OJK bisa dicairkan dan digunakan tanpa pengawasan ketat, sementara penegak hukum tampak menunggu momentum tertentu untuk bertindak?
Panggung Komisi XI DPR RI menjadi pusat perhatian. Meski dana CSR seharusnya disalurkan melalui mekanisme kolektif, hanya dua orang yang menjadi tersangka. Sementara anggota komisi lainnya tetap “malaikat” yang menolak godaan dana berkah, seolah memperlihatkan integritas yang kokoh di tengah badai skandal.
Proses pemeriksaan yang berjalan lambat dan selektif ini dinilai publik bukan sekadar ketidaktepatan, tetapi strategi. Ada dugaan penegak hukum menunggu waktu yang tepat, entah pasca reses, menjelang pilkada, atau saat situasi politik lebih stabil, untuk memeriksa anggota DPR lainnya. Sementara itu, dua tersangka utama menjadi sorotan kamera, menampilkan drama hukum yang terlihat “ramah” bagi elite politik.
Yang menarik, kasus ini memperlihatkan dinamika hubungan legislatif dan regulator. Gubernur BI dan pejabat OJK tetap terlihat terhormat, seolah urusan dana puluhan miliar hanyalah “receh” yang bisa diatur oleh mekanisme internal, tanpa mengganggu stabilitas lembaga. Publik menilai, ada semacam “gotong royong” elite di balik layar yang menjaga keharmonisan sambil tetap mengamankan kepentingan pribadi.
Dari perspektif masyarakat, kasus CSR ini mengajarkan bahwa korupsi di Indonesia kini seperti seni pertunjukan: penegak hukum, pejabat negara, dan anggota legislatif menjalankan peran masing-masing, sementara dana rakyat menjadi “pelumas” hubungan antar elite. Bukan sekadar penyalahgunaan, tetapi drama kompleks yang mencerminkan bagaimana kekuasaan, uang, dan integritas berjalan berdampingan dalam bingkai politik nasional.
Selain itu, dugaan korupsi ini menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan internal di DPR RI dan lembaga keuangan negara. Dana CSR yang seharusnya untuk program sosial dan pemberdayaan masyarakat, nyatanya bisa dialihkan ke kepentingan pribadi. Hal ini memunculkan pertanyaan besar bagi masyarakat tentang efektivitas transparansi dan akuntabilitas di lembaga negara.
Publik dan penggiat anti-korupsi tentu berharap sistem hukum tidak berhenti di panggung sandiwara ini. Penyelidikan yang menyeluruh dan transparan tetap dibutuhkan agar dana rakyat benar-benar terlindungi, dan konsep “berkah” dalam CSR tidak hanya menjadi jargon di atas kertas. Edukasi publik, pengawasan oleh media, serta partisipasi masyarakat menjadi kunci untuk mencegah skandal serupa terulang kembali.***

