DJADIN MEDIA– Proyek pembangunan irigasi senilai Rp92 miliar yang digarap oleh SNVT PJPA pada kegiatan Peningkatan Daerah Irigasi Way Sekampung, Sub D.I. Raman Utara Tahap II, kini tengah menjadi sorotan publik dan lembaga pengawas masyarakat. Dugaan penyimpangan mulai dari spesifikasi teknis yang tidak sesuai kontrak hingga upah pekerja yang belum dibayarkan, menimbulkan pertanyaan besar soal pengawasan proyek yang seharusnya didampingi Kejaksaan Tinggi Lampung.
Pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT Basuki Rahmanta Putra (BRP) bersama Konsultan Pengawas KSO PT Catur Bina Guna Persada – PT Bina Buana Raya senilai Rp4 miliar, dengan HPS Rp115 miliar dan pagu Rp117 miliar, terdaftar dalam sistem LPSE menggunakan kode lelang 10023397000. Alamat resmi pemenang tender berada di Gedung Yodya Tower, Jakarta Timur.
LSM PRO RAKYAT, berdasarkan pantauan lapangan, menemukan indikasi kuat bahwa saluran irigasi tidak sesuai spesifikasi. Ketebalan beton yang tidak seragam, campuran semen yang tidak homogen, hingga penggunaan wiremesh M6 dan M8 yang diduga tak sesuai spesifikasi teknis, menjadi sorotan utama. Pekerja di lapangan bahkan mengeluhkan penahanan upah oleh oknum PT BRP, dengan alasan agar mereka tetap bekerja, sementara standar K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) minim diterapkan.
Ketua Umum LSM PRO RAKYAT, Aqrobin A.M, didampingi Sekretaris Umum Johan Alamsyah, SE, menegaskan bahwa proyek ini berpotensi merugikan negara. “Nilainya fantastis, hampir mencapai ratusan miliar rupiah, tapi hasil lapangan jauh dari harapan. Dugaan pelanggaran spesifikasi dan kekurangan volume bisa merugikan negara. Kami khawatir ini karena adanya kedekatan antara kontraktor dengan oknum Kejati Lampung,” ujar Aqrobin.
Ia menambahkan, pendampingan oleh Kejaksaan Tinggi Lampung tidak boleh hanya formalitas. “Pendampingan itu bukan berarti tutup mata. Kalau ada dugaan penyimpangan, Kejati Lampung wajib turun langsung memeriksa. Jangan diam, proyek ini pakai uang rakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Johan Alamsyah mengungkapkan bahwa sisa upah pekerja harian hingga Rp90 juta belum dibayarkan, meski ada surat pembayaran resmi yang mencatat sebagian telah dibayarkan. “Kami sudah berulang kali melaporkan masalah ini, tapi sepertinya Kejati Lampung menganggapnya sebagai isu sepele. Nasib pekerja harian dan keluarganya dipertaruhkan di sini,” ujarnya.
LSM PRO RAKYAT menegaskan bahwa proyek ini berpotensi melanggar sejumlah aturan, termasuk UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pendampingan Hukum oleh Kejaksaan.
Ke depan, LSM PRO RAKYAT berencana melaporkan dugaan penyimpangan ini ke Presiden RI, Kejaksaan Agung, Komisi Kejaksaan, dan Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR untuk dilakukan audit teknis dan keuangan secara menyeluruh. Aqrobin menegaskan, “Rakyat butuh bukti, bukan alasan. Jangan biarkan proyek ratusan miliar dikerjakan asal-asalan. Kami akan kawal sampai tuntas agar tidak ada satu rupiah pun uang rakyat yang diselewengkan.”***

