DJADIN MEDIA– Puluhan guru SMA Siger di Bandar Lampung sampai saat ini masih menanti honor mereka sejak pembukaan sekolah pada Juli 2025. Hingga menjelang akhir November, pembayaran honorium yang seharusnya menjadi hak para pendidik itu belum terealisasi, menimbulkan kekecewaan dan ketidakpastian di kalangan tenaga pengajar.
Tak semua guru ini merupakan tenaga tetap di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Bandar Lampung, yang menjadi lokasi tumpangan operasional untuk SMA 1 dan SMA 2 Siger. Artinya, sebagian besar guru yang mengajar di SMA Siger sangat bergantung pada honor tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, Plh kepala sekolah yang berasal dari guru SMP Negeri, tetap menerima gaji PNS dan tunjangan kepala sekolah, sehingga tidak terdampak langsung dari ketidakjelasan honorium para guru SMA Siger.
Sejumlah upaya konfirmasi ke Plh kepala sekolah dan pihak SMP Negeri 44 Bandar Lampung tidak membuahkan hasil. Mereka enggan memberi komentar terkait keterlambatan honorium, bahkan beberapa kali permintaan wawancara diabaikan. Indikasi kurangnya perhatian terhadap hak guru SMA Siger terlihat dari aktivitas digital pihak terkait, yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap masalah tersebut hingga Minggu, 16 November 2025.
Mengutip laporan inilampung.com pada Senin, 17 November 2025, para guru mengaku awalnya tergiur mengajar tanpa kontrak resmi karena iming-iming honor yang dijanjikan, namun hingga kini tidak kunjung dibayarkan. “Ya hanya disuruh ngajar-ngajar aja. Diiming-imingi nanti dibayar honornya. Itu juga nggak jelas berapa honor yang dijanjikan. Karena sampai sekarang kami semua belum pernah diberi gaji,” ungkap salah satu guru yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi ini makin memprihatinkan ketika publik kembali disadarkan pada September 2025, saat terungkap praktik penjualan modul belajar di SMA Siger 2 di Jalan Buton Raya, Gunung Sulah, Way Halim. Modul tersebut dijual seharga Rp15 ribu per modul dengan total 15 modul per siswa. Praktik ini dianggap “haram” karena wali kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, sebelumnya menegaskan bahwa Pemkot menanggung seluruh biaya operasional pendidikan di sekolah tersebut.
Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kepala SMP Negeri 44, yang menjadi Plh, sedang tidak berada di lokasi, sementara Ketua DPRD Bandar Lampung Bernas (Gerindra) dan Ketua Komisi 4 DPRD Bandar Lampung Asroni Paslah (Gerindra) enggan mengonfirmasi temuan praktik penjualan modul tersebut. Satu-satunya anggota DPRD yang menanggapi, Sidik Efendi (PKS), berjanji akan berkoordinasi dengan jajaran Komisi 4 untuk membahas dugaan pelanggaran ini, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut yang jelas.
Tanpa pendanaan resmi, guru SMA Siger terpaksa menghadapi kesulitan operasional harian. “Dana operasional sekolah nggak ada tapi kami diperintahin proses pembelajaran harus tetap jalan. Cuma disuruh sabar, sabar, dan sabar aja. Nggak ada solusi yang disampaikan,” kata seorang guru lain. Kondisi ini menimbulkan tekanan emosional dan finansial bagi para pendidik yang tetap berkomitmen mengajar meski hak mereka terabaikan.
DPRD Kota Bandar Lampung sejatinya memegang tanggung jawab atas SMA Swasta Siger. Dukungan publik dari Ketua Komisi 4 dan Ketua DPRD untuk kegiatan belajar mengajar di SMA Siger telah diumumkan sejak Agustus 2025, tetapi realisasi tanggung jawab itu belum terlihat di lapangan. Bahkan anggota DPRD perempuan seperti Heti Friskatati (Golkar), Mayang Suri Djausal (Gerindra), maupun kader muda Nasdem M. Niki Saputra tidak memberikan tanggapan saat dikonfirmasi.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai akuntabilitas pengelolaan SMA Siger. Guru-guru yang menanggung beban pembelajaran tanpa dukungan finansial yang jelas menjadi korban sistem yang tidak transparan. Dengan honor yang belum dibayarkan, praktik penjualan modul yang terjadi, serta minimnya perhatian dari Plh dan DPRD, banyak pihak menilai DPRD Bandar Lampung harus segera mengambil langkah konkret untuk menjamin hak guru dan memastikan praktik pendidikan berjalan sesuai regulasi.***

