DJADIN MEDIA— Polemik hukum yang menyeret PT LEB kembali menuai sorotan tajam. Proses yang berlangsung sejak penyelidikan hingga penetapan tersangka dinilai penuh kejanggalan dan berpotensi kuat menjadi bentuk kriminalisasi. Hal itu disampaikan langsung oleh kuasa hukum PT LEB, Riki Martim, SH, yang menegaskan bahwa kronologi hukum terhadap kliennya tidak berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Menurut Riki, sejak awal penyelidikan dimulai satu tahun lalu, pihak manajemen PT LEB tidak pernah diberi penjelasan jelas mengenai perbuatan hukum apa yang dijadikan dasar dugaan tindak pidana tersebut. Penetapan direksi dan komisaris sebagai tersangka disebutnya dilakukan tanpa transparansi, bahkan tanpa pemberitahuan lengkap mengenai alat bukti yang digunakan.
“Saat pemeriksaan, klien kami menanyakan dasar penetapan tersangka. Namun penyidik menjawab bahwa semuanya akan dijelaskan nanti di persidangan. Ini jelas tidak sesuai prinsip due process of law,” ujar Riki.
Ia menjelaskan, hingga kini tidak ada informasi resmi mengenai nilai kerugian negara yang dijadikan alasan penetapan tersangka. Bahkan audit dari BPKP — yang seharusnya menjadi dasar perhitungan kerugian negara — tidak pernah ditunjukkan kepada kliennya, baik ketika diperiksa sebagai saksi maupun setelah berstatus tersangka.
Riki menegaskan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, setiap penetapan tersangka wajib didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah serta pemeriksaan mendalam terhadap calon tersangka. Hal ini penting untuk menjamin bahwa pihak yang diperiksa memiliki ruang memberikan bantahan, klarifikasi, dan argumentasi hukum secara adil.
Namun fakta pemeriksaan justru menunjukkan hal sebaliknya. Menurut Riki, pertanyaan yang diajukan penyidik hanya seputar tugas pokok dan fungsi perusahaan, mekanisme internal, operasional harian, dan proses RUPS. Tidak ada pendalaman yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi.
“Kalau kita bicara korupsi, maka harus ada kerugian negara yang nyata, pasti, dan terukur. Undang-undang jelas mengatur hal itu, salah satunya dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,” jelasnya.
Ia menilai langkah-langkah penyidikan terhadap PT LEB bertentangan dengan prinsip keadilan, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak atas kepastian hukum yang adil. Ketidakterbukaan, ketidakjelasan bukti, serta prosedur pemeriksaan yang tidak sesuai standar hukum dinilai memperburuk dugaan adanya kriminalisasi.
Karena itu, pihaknya resmi mengajukan gugatan pra peradilan. Langkah ini diambil guna memastikan bahwa seluruh proses hukum diuji kembali secara objektif, terbuka, dan sesuai aturan.
“Kami berharap melalui pra peradilan ini, kebenaran materiil bisa ditemukan. Klien kami berhak mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan dari proses yang tidak sesuai prosedur,” tutup Riki.***

