DJADIN MEDIA- Situasi pemberantasan korupsi di Provinsi Lampung kembali menjadi sorotan nasional. Lembaga Swadaya Masyarakat PRO RAKYAT secara resmi mengadukan maraknya dugaan tindak pidana korupsi yang dinilai mandek ke Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Pengaduan dilakukan melalui kunjungan langsung ke Kementerian Sekretariat Negara RI dan Sekretariat Kabinet RI di Jakarta, Jumat (5/12/2025). Upaya ini menjadi langkah besar untuk menyoroti lemahnya penegakan hukum di tingkat daerah.
Dalam kunjungan tersebut, Ketua Umum PRO RAKYAT Aqrobin AM dan Sekretaris Umum Johan Alamsyah, S.E., menyerahkan laporan lengkap berisi rangkuman kasus-kasus korupsi besar di Lampung yang selama bertahun-tahun dinilai tidak memiliki kejelasan hukum. Laporan tersebut disusun berdasarkan pemberitaan media, laporan masyarakat, serta hasil investigasi lapangan yang dikumpulkan oleh lembaga mereka.
Aqrobin AM menggambarkan kondisi Lampung dengan istilah yang cukup keras, yaitu darurat korupsi struktural. Ia menegaskan bahwa praktik penyalahgunaan anggaran terjadi secara berulang dan masif, namun proses hukum di berbagai kasus justru terhenti tanpa penjelasan yang transparan. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa sistem penegakan hukum di daerah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
“Kami datang membawa dokumen lengkap, bukan sekadar opini. Data menunjukkan banyak kasus korupsi bernilai besar di Lampung yang berhenti begitu saja. Ini bukan lagi soal teknis, melainkan indikasi lemahnya penegakan hukum secara menyeluruh,” ujar Aqrobin.
Menurut inventarisasi PRO RAKYAT, terdapat sejumlah dugaan kasus korupsi bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah yang stagnan. Tidak ada perkembangan signifikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Polanya serupa: kasus ramai diberitakan, sempat menjadi perbincangan publik, namun perlahan hilang dari pantauan tanpa ada kejelasan tindak lanjut.
Kasus-kasus yang dimaksud meliputi:
1. Dugaan korupsi proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan dan gedung pemerintah, yang sejak awal telah disorot karena dugaan pengondisian tender dan penyimpangan anggaran.
2. Permasalahan serius pada sejumlah BUMD strategis yang dilaporkan menyebabkan potensi kerugian negara cukup besar, namun tidak menunjukkan perkembangan di meja hukum.
3. Dugaan penyelewengan dana hibah dan anggaran olahraga pada KONI Lampung, yang sempat menjadi isu hangat namun tak pernah berpindah dari tahap pemberitaan ke proses hukum yang konkret.
4. Laporan dugaan korupsi perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa, serta proyek penunjukan langsung yang kerap muncul namun tidak pernah dituntaskan oleh aparat terkait.
Aqrobin menyebut kondisi ini sebagai fenomena berulang yang merugikan masyarakat. Ia menilai bahwa penyelesaian kasus hanya terjadi pada level tertentu, namun berhenti ketika berkaitan dengan kepentingan besar atau lingkaran kekuasaan.
Johan Alamsyah, S.E., menambahkan bahwa situasi penegakan hukum di Lampung menunjukkan ketimpangan. Menurutnya, aparat sering kali terlihat cepat dalam menangani kasus masyarakat biasa atau pelanggaran kecil, namun justru lambat ketika menyentuh kasus-kasus korupsi bernilai besar.
“Hukum terlihat bekerja keras bila menyentuh rakyat kecil. Tapi ketika kasus menyentuh lingkar kekuasaan, hukum seolah kehilangan tenaga. Ini realitas yang sudah lama dirasakan masyarakat,” tegas Johan.
Ia menilai bahwa kondisi tersebut menciptakan ruang aman bagi pelaku korupsi di daerah. Lambatnya proses hukum membuat terbentuknya jejaring kepentingan yang sulit ditembus, sehingga kasus semakin tertutup dan masyarakat semakin skeptis terhadap hasilnya.
Menurut PRO RAKYAT, masyarakat Lampung kini mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum. Banyak warga merasa tidak ada gunanya melapor karena hasilnya cenderung sama: tidak ada kejelasan. Hal ini membuat banyak tindakan korupsi dianggap tidak memberikan risiko besar bagi pelakunya.
“Masyarakat sudah kehilangan harapan. Mereka merasa apa pun yang dilaporkan tidak berujung pada keadilan. Ketika pelaku korupsi tidak ditindak, publik menganggap korupsi sebagai kejahatan yang tidak berdampak apa-apa bagi pelakunya,” jelas Johan.
PRO RAKYAT memandang kondisi ini berbahaya bagi stabilitas sosial dan demokrasi daerah. Apatisme publik terhadap pemberantasan korupsi dapat membuka ruang luas bagi kejahatan anggaran dan semakin melemahkan tata kelola pemerintahan.
Melalui laporan kepada Presiden Prabowo, PRO RAKYAT mengajukan tiga rekomendasi utama untuk memutus rantai pembiaran kasus korupsi di Lampung:
1. Supervisi nasional
Meminta pemerintah pusat melakukan pengawasan langsung terhadap seluruh proses penanganan kasus korupsi di Lampung.
2. Evaluasi aparat penegak hukum daerah
Meminta audit menyeluruh terhadap kinerja aparat penegak hukum di Lampung yang dianggap gagal atau terindikasi memiliki konflik kepentingan.
3. Transparansi proses perkara
Mendorong publikasi terbuka mengenai perkembangan perkara agar masyarakat dapat mengawal proses hukum secara langsung.
Aqrobin menegaskan bahwa kunjungan ini merupakan awal dari gerakan besar masyarakat Lampung untuk mencari keadilan. Ia menyatakan bahwa jika aparat daerah tidak mampu memberikan kepastian hukum, rakyat akan mengadukan langsung ke tingkat pusat.
“Jika daerah tidak mampu bertindak tegas, maka rakyat akan mengetuk pintu pusat kekuasaan. Kami tidak akan berhenti sampai kasus-kasus ini ditangani dengan profesional,” ujarnya.
Johan Alamsyah menutup dengan harapan bahwa era kepemimpinan Presiden Prabowo dapat membuka babak baru dalam pemberantasan korupsi, khususnya di daerah yang selama ini dianggap rawan.
“Rakyat menunggu tindakan tegas dari Presiden. Jika Lampung dibersihkan dari praktik korupsi yang selama ini dibiarkan, itu akan menjadi sinyal kuat bahwa negara hadir dan berpihak kepada keadilan,” tutupnya.***

