DJADIN MEDIA— Pulau Sumatera kembali diguncang tragedi besar. Banjir dan longsor yang terjadi secara beruntun di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menelan lebih dari 800 korban jiwa. Sekitar 500 orang masih dinyatakan hilang, sementara ribuan warga terpaksa mengungsi setelah rumah, fasilitas publik, hingga akses jalan di lebih dari 50 kabupaten rusak berat. Peristiwa ini tak hanya memicu krisis kemanusiaan, tetapi juga membuka kembali perdebatan panjang soal buruknya pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Bencana yang dipicu Siklon Tropis Senyar ini dinilai semakin parah akibat rapuhnya bentang alam di kawasan hulu. Sejumlah pemerhati lingkungan menilai kondisi ekologi di beberapa wilayah Sumatera sudah lama memberi tanda bahaya, namun tidak direspons dengan kebijakan yang selaras dengan kebutuhan konservasi.
“Curah hujan ekstrem memang faktor pemicu, tetapi yang membuat bencana ini begitu mematikan adalah kondisi ekosistem yang sudah rusak parah,” kata Edy Karizal, Direktur Lembaga Konservasi 21 (LK-21), Minggu (7/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa deforestasi di kawasan hulu sungai menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air. Akibatnya, saat hujan deras, air langsung meluncur ke bawah membawa material kayu, lumpur, hingga batu besar yang menghantam permukiman penduduk.
Menurut data LK-21, sejak beberapa periode kepemimpinan Kementerian Kehutanan, setidaknya 1,64 juta hektare hutan telah berubah fungsi menjadi Area Peruntukan Lain (APL). Konversi tersebut meluas di berbagai provinsi: Aceh ±70.000 ha, Sumut ±150.000 ha, Riau ±600.000 ha, Jambi ±120.000 ha, Kalbar ±60.000 ha, Kalteng ±350.000 ha, Kaltim ±250.000 ha, dan wilayah lain sekitar 50.000 ha.
“Hilangnya tutupan hutan membuat daerah aliran sungai kehilangan kemampuan menahan banjir. Longsor dan banjir bandang membawa gelondongan kayu, membuktikan ada kombinasi antara bencana alam dan degradasi lingkungan,” ujar mantan Ketua Watala itu.
Edy juga menyoroti regulasi tertentu, seperti Permen LHK Nomor 14 Tahun 2023, yang dinilai membuka ruang baru bagi konversi hutan konservasi. Ia menekankan perlunya evaluasi serius terhadap kebijakan yang memungkinkan pelepasan kawasan hutan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologis.
Kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada manusia. Edy menyebut perubahan tutupan hutan juga menghancurkan habitat satwa liar seperti harimau sumatra, gajah, badak, dan orangutan. Konflik satwa–manusia pun meningkat dalam satu dekade terakhir akibat habitat yang kian sempit.
Ia mendesak pemerintah pusat dan daerah memperkuat rehabilitasi kawasan hulu, audit perizinan perkebunan dan kehutanan, serta memastikan tata ruang dirancang berdasarkan risiko bencana. Transparansi dan pelibatan masyarakat dinilai menjadi kunci agar pengelolaan lingkungan lebih akuntabel.
“Kita tidak boleh terus-menerus terjebak dalam pola penanganan darurat. Pemulihan ekologis harus menjadi agenda jangka panjang, bukan hanya ucapan setelah bencana,” tegasnya.
Selain itu, Edy meminta investigasi kerusakan lingkungan dilakukan secara terbuka. Jika ada kebijakan yang terbukti berkontribusi terhadap kerentanan ekologis, penyelesaian harus mengikuti mekanisme hukum yang adil dan akuntabel. Ia menegaskan agar setiap keputusan berbasis data, bukan kepentingan jangka pendek.
Sementara itu, pemerintah pusat menyatakan fokus utama saat ini adalah evakuasi dan pencarian korban, serta distribusi bantuan logistik. Sejumlah kementerian juga sudah menyiapkan langkah rehabilitasi pascabencana. Meski begitu, para ahli menilai bahwa tragedi besar ini harus dijadikan titik balik untuk memperbaiki tata kelola hutan, mitigasi bencana, dan kebijakan tata ruang.
Bencana besar ini menjadi pengingat bahwa tanpa proteksi ketat atas kawasan hulu dan pemulihan ekosistem secara serius, risiko bencana serupa bahkan lebih besar bisa kembali terjadi. Dengan curah hujan ekstrem yang diprediksi makin sering akibat perubahan iklim global, urgensi perbaikan tata kelola lingkungan tidak bisa lagi ditunda.***

