DJADIN MEDIA – Sorotan publik kembali tertuju pada dunia pendidikan di Kota Bandar Lampung setelah kasus bullying yang menimpa seorang siswa SMP Negeri viral di media sosial. Korban bahkan terpaksa keluar sekolah akibat tekanan dan kekerasan yang dialaminya. Kasus ini memicu pertanyaan serius mengenai tata kelola pendidikan di kota yang dikenal sebagai Kota Tapis Berseri tersebut.
Sorotan mengarah pada Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana dan saudari kembarnya, Eka Afriana, yang menjabat Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung sekaligus asisten pemerintahan. Dugaan ketidaktegasan dan konflik kepentingan menimbulkan kontroversi luas di masyarakat.
Beberapa pihak menyoroti dugaan penyalahgunaan aset negara untuk kepentingan pihak tertentu. Dalam hal ini, Eka Afriana disebut telah meminjamkan aset negara untuk Yayasan yang menyelenggarakan SMA Siger, meski penggunaan APBD seharusnya tunduk pada peraturan daerah, peraturan wali kota, serta undang-undang Sisdiknas. Langkah ini dianggap melanggar prosedur karena SMA Siger dinilai belum memiliki izin definitif, dan penggunaan aset negara menimbulkan potensi kerugian dan konflik kepentingan.
Praktisi hukum menekankan bahwa tindakan ini berpotensi menimbulkan masalah hukum bagi pihak yang terlibat, termasuk kepala sekolah, ketua yayasan, dan pejabat Disdikbud Bandar Lampung. “Pinjam pakai aset negara untuk sekolah swasta yang belum definitif izinnya bisa menjadi ranah pidana dan administrasi. Apalagi jika penggunaan APBD tidak transparan dan merugikan masyarakat,” ujar seorang pengamat hukum pendidikan.
Masalah tidak berhenti di situ. Informasi terbaru menunjukkan bahwa Pemkot Bandar Lampung belum mendefinisikan kepala sekolah definitif untuk beberapa SMP Negeri. Beberapa pejabat dobel job, termasuk Eka Afriana, merangkap sebagai kepala SMP N 44 dan SMP N 32. Kondisi ini dinilai memperburuk manajemen dan pengawasan sekolah, sehingga kasus bullying dan penyimpangan tata kelola pendidikan mudah terjadi.
Kasus bullying yang viral juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas program pencegahan di sekolah negeri. Guru-guru menyatakan kebingungan karena tidak adanya kepemimpinan definitif di sekolah, sementara stakeholder sekolah swasta mempertanyakan legalitas penyelenggaraan SMA Siger yang menggunakan APBD. Praktisi hukum dan pemerhati pendidikan mengkritik keras kebijakan ini, menilai bahwa ketidakjelasan regulasi membuka peluang ketidakadilan dan kerugian bagi siswa serta masyarakat.
Selain itu, publik menyoroti peran ganda saudari kembar yang memegang posisi strategis di pemerintahan. Kombinasi jabatan Wali Kota Eva Dwiana dan Plt. Kadis Dikbud Eka Afriana membuat indikasi konflik kepentingan semakin kuat. Keduanya menjadi sasaran polemik dalam sejumlah skandal pendidikan yang muncul belakangan ini, termasuk dugaan pemalsuan identitas dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Munculnya skandal ini menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap manajemen pendidikan di Bandar Lampung. Transparansi penggunaan APBD, penetapan kepala sekolah definitif, dan pengawasan yang ketat terhadap sekolah swasta menjadi sorotan utama agar kasus bullying tidak kembali merugikan siswa dan reputasi pemerintah daerah.***

