DJADIN MEDIA – Dua pelatih muda Liga 1, Paul Munster (Bhayangkara Presisi Lampung FC) dan Bernardo Tavares (PSM Makassar), menunjukkan perbedaan mencolok dalam hal komunikasi publik. Jika Munster lebih sering tampil normatif, Tavares justru mampu memanfaatkan konferensi pers sebagai panggung untuk meraih simpati dan dukungan.
Pada konferensi pers sebelum dan sesudah laga Bhayangkara Lampung vs PSM Makassar (15–16 Agustus 2025), Paul Munster cenderung kaku. Ia menjawab pertanyaan media seperlunya, bahkan menolak menanggapi harapan suporter Lampung yang ingin timnya bermain adaptif ala Arsenal.
“Saya tidak peduli Arsenal dan Arteta,” tegas Munster singkat.
Setelah laga yang berakhir imbang 1-1 di Stadion Sumpah Pemuda, Munster lagi-lagi hanya memberi jawaban aman tanpa detail teknis berarti. Soal crossing yang gagal jadi peluang dan kelemahan koordinasi pemain, ia menutup dengan kalimat klise:
“Kami kurang memaksimalkan peluang. Dalam sepak bola, hal seperti ini memang terjadi.”
Berbanding terbalik, Bernardo Tavares tampil lugas dan ekspresif. Ia menjadikan konferensi pers sebagai medium untuk membangun narasi. Mulai dari mengkritisi keputusan wasit dengan detail layaknya Jose Mourinho, hingga mengungkap kendala finansial yang memengaruhi strategi PSM.
Dalam penjelasannya, Tavares tak hanya berbicara teknis, tapi juga menguasai gestur, intonasi, dan storytelling. Ia membandingkan kondisi timnya dengan privilese finansial Pep Guardiola hingga mengenang momen juara PSM di 2023 yang tak lepas dari dukungan penuh suporter.
“Guardiola mudah memilih pemain terbaik. Saya justru kehilangan dua pemain asing yang akhirnya bergabung ke Bhayangkara karena faktor finansial,” ungkapnya.
Lebih jauh, Tavares bahkan berani mengkritik stadion Pare-Pare yang sepi penonton dibandingkan atmosfer penuh sesak di Stadion Sumpah Pemuda.
“Atmosfer penuh stadion bisa memberi tekanan kepada wasit. Itu tak bisa dibantah,” katanya.
Kontras dua gaya komunikasi ini memperlihatkan bahwa sepak bola modern tak hanya bicara taktik di lapangan, tetapi juga bagaimana pelatih membangun narasi di ruang konferensi pers. Jika Munster memilih bermain aman, Tavares justru memaksimalkan komunikasi publik sebagai “senjata taktik” di luar lapangan.
Meski demikian, rekam jejak Munster tetap patut diapresiasi. Ia pernah membawa Persebaya ke empat besar, serta mengangkat Bhayangkara dari peringkat 13 ke posisi empat besar pada 2019. Hanya saja, dalam urusan komunikasi publik, ia masih kalah memikat dari sosok karismatik asal Portugal itu.***