DJADIN MEDIA- Langkah Pemerintah Provinsi Lampung yang menetapkan 15 Desa Adat baru-baru ini menjadi sorotan publik. Meski diapresiasi sebagai upaya mengembalikan martabat masyarakat adat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung menegaskan bahwa pengakuan tersebut tidak boleh berhenti pada seremoni politik. BEM menilai, tanpa payung hukum yang kokoh, kebijakan ini berisiko menjadi sekadar pencitraan tanpa manfaat nyata.
Melalui Kementerian Koordinator Hukum, HAM, dan Demokrasi, BEM Universitas Lampung menyoroti urgensi Peraturan Daerah (Perda) tentang Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur pelaksanaannya. Ghraito Arip H., Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Demokrasi BEM Unila, menekankan bahwa pengakuan Desa Adat harus sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Desa Adat hanya dapat diakui jika memenuhi kriteria yang jelas: adanya masyarakat hukum adat yang masih hidup, wilayah adat yang diakui, serta praktik kearifan lokal dan norma adat yang terjaga,” tegas Ghraito dalam keterangannya. Ia menambahkan bahwa pengakuan tanpa dasar hukum yang kuat akan melemahkan hak konstitusional masyarakat adat sebagaimana diamanatkan Pasal 18B UUD 1945.
BEM menilai, Perda dan Pergub bukan sekadar pelengkap administratif, melainkan fondasi perlindungan hak adat. Tanpa regulasi tersebut, pengakuan 15 Desa Adat rentan digugat, sekaligus menimbulkan konflik kepemilikan lahan, perebutan sumber daya alam, hingga tumpang tindih kewenangan pemerintah desa. Ghraito mengingatkan bahwa pengelolaan tanah ulayat, hutan adat, dan akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam memerlukan mekanisme hukum yang tegas agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan ekonomi semata.
“Perda dan Pergub akan menjadi pagar pelindung, memastikan hak masyarakat adat terjaga, termasuk dalam mengelola tanah dan sumber daya yang telah diwariskan turun-temurun,” jelas Ghraito. Ia memperingatkan, tanpa dasar hukum tersebut, pengakuan Desa Adat dikhawatirkan hanya menjadi seremonial belaka, bahkan bisa menjadi celah praktik eksploitasi.
Selain itu, BEM Universitas Lampung juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat adat dalam perumusan kebijakan. Proses penyusunan Perda harus melibatkan tokoh adat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil agar kebijakan yang dihasilkan mencerminkan aspirasi seluruh pihak. Menurut BEM, partisipasi ini akan memastikan kebijakan berjalan efektif, adil, dan berkelanjutan.
BEM pun menyerukan agar Pemerintah Provinsi Lampung bersama DPRD bergerak cepat dan progresif. “Kami mendesak Pemprov Lampung dan DPRD untuk segera merumuskan Perda tentang Masyarakat Hukum Adat dan menindaklanjutinya dengan Pergub yang jelas. Tanpa langkah nyata, pengakuan 15 Desa Adat hanya akan menjadi agenda politik kosong yang menipu harapan masyarakat,” kata Ghraito.
Lebih jauh, BEM Universitas Lampung berkomitmen mengawal proses ini hingga tuntas. Mereka menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat merupakan pilar penting demokrasi dan keadilan sosial yang harus dilindungi negara. Dukungan mahasiswa, kata Ghraito, bukan sekadar kritik, tetapi panggilan moral agar hak-hak adat tidak terpinggirkan dalam arus pembangunan modern.
BEM juga mengingatkan bahwa pengakuan desa adat memiliki dampak luas, termasuk pada tata kelola lingkungan, pelestarian budaya, dan kesejahteraan masyarakat setempat. Jika diatur dengan baik, desa adat berpotensi menjadi benteng pelestarian hutan, ekowisata berbasis adat, dan pusat kearifan lokal yang mampu mendongkrak perekonomian daerah. Namun, tanpa aturan hukum yang jelas, peluang ini bisa hilang dan justru memicu kerusakan alam serta hilangnya identitas budaya.
“Ini bukan hanya soal politik identitas, tetapi soal masa depan Lampung sebagai daerah yang kaya budaya sekaligus harus melindungi lingkungan dan hak masyarakat adat,” pungkas Ghraito.***