DJADIN MEDIA– Polemik hak buruh kembali mencuat di Lampung. Buruh PT Wahana Raharja, sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimiliki Pemerintah Provinsi Lampung, menuntut hak mereka yang telah lama tertunda. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2024/PN Tjk yang dibacakan pada 18 Desember 2024 dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi Nomor 497K/PDT.SUS-PHI/2025 pada 30 April 2025 menegaskan kewajiban perusahaan untuk membayar tunggakan gaji dan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada tujuh buruh dengan total Rp326.087.940.
Keputusan hakim menegaskan bahwa hubungan kerja para buruh adalah PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Artinya, praktik pemutusan sepihak dan penelantaran pembayaran upah tidak memiliki dasar hukum. Namun ironisnya, BUMD yang seharusnya menjadi contoh ketaatan hukum dan keadilan sosial justru menunjukkan praktik sebaliknya. PT Wahana Raharja kini menghadapi kritik tajam karena dianggap mengabaikan hak pekerja, merampas upah, dan menjalankan praktik impunitas atas nama kepemilikan daerah.
Buruh yang menjadi penggugat bukan sekadar angka dalam dokumen hukum, tetapi manusia yang telah bekerja bertahun-tahun dengan dedikasi. Mereka mengalami penundaan pembayaran upah yang seharusnya menjadi hak dasar, yang berdampak langsung pada kehidupan dan kesejahteraan keluarga. YLBHI – LBH Bandar Lampung menekankan bahwa beban moral dan hukum kini berada di tangan Direktur Utama PT Wahana Raharja. Tidak ada alasan untuk menunda eksekusi putusan. Setiap penundaan sama dengan memperpanjang penderitaan buruh.
Lebih jauh, kasus ini menyoroti kelemahan pengawasan Pemerintah Provinsi Lampung sebagai pemegang saham mayoritas. YLBHI menilai pemerintah gagal menjalankan fungsi kontrol terhadap BUMD. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan daerah bisa menelantarkan pekerjanya tanpa ada evaluasi, teguran, atau tindakan korektif dari pemiliknya? Kealpaan ini menimbulkan pelanggaran struktural, bukan sekadar kesalahan manajemen semata.
DPRD Provinsi Lampung juga menjadi sorotan karena memiliki fungsi pengawasan terhadap BUMD. Dengan adanya putusan pengadilan yang jelas, DPRD tidak boleh menutup mata atas praktik pelanggaran hak buruh. Fungsi pengawasan legislatif harus dijalankan untuk memastikan BUMD mematuhi hukum dan menegakkan keadilan bagi pekerja.
YLBHI – LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa perjuangan buruh PT Wahana Raharja merupakan cerminan masalah besar ketidakadilan struktural di Indonesia. Jika perusahaan milik daerah saja bisa mengabaikan hak konstitusional buruh, bagaimana kondisi perusahaan swasta yang minim pengawasan? Kasus ini menjadi alarm keras bagi semua pihak: hak buruh adalah hak konstitusional yang tidak bisa dinegosiasikan, dan negara wajib hadir untuk menjaminnya.
Oleh karena itu, YLBHI – LBH Bandar Lampung mendesak langkah tegas dari semua pihak:
1. Direktur Utama PT Wahana Raharja segera menunaikan kewajiban hukum dan membayar seluruh hak buruh tanpa penundaan.
2. Pemerintah Provinsi Lampung mengambil tindakan nyata dengan mengevaluasi manajemen PT Wahana Raharja dan menjamin hak buruh dipenuhi sesuai hukum.
3. DPRD Provinsi Lampung menjalankan fungsi pengawasan dan meninjau secara menyeluruh kinerja BUMD untuk mencegah pengulangan pelanggaran hak buruh.
YLBHI – LBH Bandar Lampung menekankan bahwa keberhasilan perlindungan hak buruh adalah indikator kualitas tata kelola BUMD dan keseriusan negara dalam menegakkan hukum. Kasus PT Wahana Raharja harus menjadi momentum untuk reformasi pengelolaan BUMD agar hak pekerja tidak lagi terabaikan.***