DJADIN MEDIA– SMA swasta Siger kembali menjadi sorotan panas publik. Sekolah yang mengklaim menawarkan biaya pendidikan gratis ini memang berada di bawah naungan Pemkot Bandar Lampung, namun kenyataannya dimiliki dan dikelola oleh lima orang yang pernah atau masih memegang jabatan di Pemkot. Kombinasi antara kepemilikan pribadi dan klaim fasilitas publik membuat sekolah ini selalu menarik atensi, apalagi dengan kabar soal aliran dana pemerintah yang melibatkan DPRD Kota Bandar Lampung dan pembiaran pihak terkait di tingkat provinsi.
Statusnya pun masih abu-abu. Meski beroperasi dengan segala kemudahan dari aset negara dan kemungkinan aliran dana publik, SMA Siger tetap jauh dari standar kesejahteraan pendidikan. Praktik jual modul pelajaran kepada murid masih terjadi, sementara puluhan guru sekolah ini belum menerima honor selama berbulan-bulan, padahal mereka membutuhkan biaya transport untuk datang mengajar.
Situasi makin menarik ketika muncul kabar bahwa Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana akan memberikan beasiswa kepada siswa SMA/SMK dan mahasiswa di Bandar Lampung. Isu ini kemudian memicu dugaan baru tentang aliran dana SMA Siger. Apakah dana beasiswa tersebut akan dialihkan untuk sekolah ilegal ini?
Kisah ini bermula dari silang sengkarut pernyataan beberapa pihak penting: Kabid Dikdas Disdikbud, BKAD, dan Ketua Komisi 4 DPRD Bandar Lampung, Mulyadi, Cheppi, dan Asroni Paslah. Pada bulan September 2025, Asroni menyatakan bahwa dana operasional SMA Siger tidak dianggarkan di Disdikbud dan ia tidak mengetahui apakah dana tersebut akan melalui bidang sosial dan kesejahteraan. Sebaliknya, Mulyadi dan Cheppi mengaku anggaran SMA Siger tercatat di Disdikbud dan sedang menunggu finalisasi di provinsi, sambil menunggu regulasi pengaliran dana.
Dari pernyataan yang bertentangan itu muncul dua kemungkinan. Pertama, dana beasiswa bisa dialirkan untuk mendukung SMA swasta yang ilegal ini agar pihak Pemkot “main cantik” dan menghindari pelanggaran regulasi. Kedua, mandeknya pembayaran honor guru dan praktik jual beli modul justru menjadi alibi kemanusiaan yang memungkinkan Wali Kota dan DPRD Kota Bandar Lampung mengajukan anggaran untuk sekolah ini. Praktik ini bisa dikemas sebagai “kepedulian” pemerintah terhadap guru dan siswa, padahal kenyataannya sekolah tetap melanggar aturan hukum.
Pakar pendidikan dan pengamat publik menyoroti potensi risiko hukum dari langkah semacam ini. Jika Pemkot dan DPRD benar-benar mengalokasikan dana untuk SMA Siger, sama saja mereka menyalurkan anggaran kepada institusi yang terindikasi melanggar Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Sekolah ini belum sah secara legal dan beroperasi tanpa izin resmi, sehingga setiap aliran dana publik bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan.
Selain itu, praktik penjualan modul oleh guru dan mandeknya honor menunjukkan lemahnya pengawasan dari pihak terkait. Guru-guru yang seharusnya menjadi garda terdepan pendidikan justru berada dalam posisi sulit, sementara sekolah ilegal terus beroperasi. Publik pun dibuat bertanya-tanya: apakah ini murni masalah birokrasi, atau ada muslihat politik di balik pengaturan dana?
Dengan berbagai temuan ini, editorial ini menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan, terutama di sekolah yang mengklaim mendapat fasilitas publik. Pemerintah daerah dan DPRD harus menegaskan sikap tegas, memastikan dana publik hanya dialokasikan untuk institusi resmi, dan menghentikan praktik yang merugikan guru maupun siswa. Tanpa langkah nyata, SMA Siger akan tetap menjadi simbol kontroversi pendidikan dan manuver politik yang merugikan semua pihak.***

