DJADIN MEDIA– Delapan bulan telah berlalu sejak pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, namun tak semua elemen pendukung merasakan dampak kemenangan itu. Salah satunya datang dari Gema Puan, organisasi relawan yang merasa diabaikan setelah turut berkontribusi dalam pemenangan Prabowo-Gibran.
Ketua Umum Gema Puan, Ridwan 98, menyuarakan kekecewaannya atas minimnya komunikasi dan pelibatan dari pihak-pihak yang sebelumnya mengajak mereka bergabung dalam barisan relawan.
“Kami bukan relawan musiman. Kami resmi terdaftar di rumah pemenangan Prabowo, baik di Slipi maupun Imam Bonjol. Tapi sejak menang, kami seperti dilupakan,” ujar Ridwan, Senin (28/7/2025).
Menurutnya, Gema Puan bukan organisasi yang datang tiba-tiba. Awalnya mereka merupakan pendukung Puan Maharani dalam bursa capres dari PDIP. Namun ketika Puan tidak mendapat tiket pencapresan, mereka membuka diri dan menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto—sebuah langkah yang diambil dengan penuh kesadaran politik dan idealisme.
Ridwan mengungkap bahwa keterlibatan Gema Puan dimulai sejak ia diundang langsung oleh sejumlah tokoh Gerindra, termasuk mendiang Ricky Tamba, dan diterima di markas pemenangan Slipi pada 26 Juni 2023.
“Kami bekerja dari bawah, membangun basis, bergerak dengan idealisme. Tapi hari ini seolah kami tidak pernah ada,” lanjutnya.
Meski kekecewaan terasa, Ridwan menegaskan bahwa Gema Puan belum menyerah sepenuhnya. Mereka masih menaruh harapan pada kepemimpinan Prabowo, serta figur-figur di lingkar dalam kekuasaan seperti Dasco dari Gerindra.
“Kami tidak menuntut jabatan. Kami hanya ingin diakui dan dihargai. Melupakan relawan adalah awal dari pudarnya kepercayaan,” tegas Ridwan.
Sebagai bentuk sikap, Gema Puan mempertimbangkan untuk membawa aspirasi mereka ke ruang publik jika tidak ada respons dari pihak terkait—bukan dalam konteks ancaman, melainkan demi menjaga harga diri organisasi dan tokoh Puan Maharani yang mereka junjung.
Kisah ini menjadi potret kecil dari dinamika pasca-pemilu yang tak selalu berjalan harmonis. Ia menunjukkan bahwa loyalitas politik butuh ruang untuk diapresiasi, bukan hanya dimanfaatkan sesaat saat kampanye berlangsung.***