DJADIN MEDIA– Demokrasi Indonesia kembali diuji dengan peristiwa tragis di tengah aksi unjuk rasa yang digelar di Ibu Kota. Seorang kawan Ojol, yang ikut dalam demonstrasi menuntut keadilan dan kebijakan pro-rakyat, gugur setelah tertindas oleh aparat kepolisian menggunakan kendaraan taktis (rantis). Peristiwa ini menjadi simbol nyata bahwa praktik kekerasan terhadap rakyat masih mengintai di negeri demokrasi ini.
Bagi Aktivis 98, gugurnya kawan Ojol adalah pukulan berat sekaligus pengingat bahwa hak konstitusional rakyat masih sering terabaikan. Nyawa yang hilang hari ini menjadi representasi kegagalan negara dalam melindungi warganya. Aparat yang seharusnya menjaga keamanan dan keselamatan warga, justru menjadi instrumen represi yang merenggut hak dan nyawa rakyat.
“Kematian kawan Ojol adalah panggilan moral bagi seluruh elemen bangsa untuk melawan praktik represif dan kekerasan aparat. Demokrasi harus dijaga, kebebasan berpendapat dilindungi, dan hak rakyat tidak boleh dikorbankan,” tegas Aktivis 98 dalam pernyataannya.
Dalam tragedi ini, Aktivis 98 menegaskan dukungan penuh terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat yang turun ke jalan. Demonstrasi yang berlangsung bukanlah tindakan sembarangan, melainkan wujud nyata keresahan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil, diskriminatif, dan merugikan. Demonstrasi merupakan hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 dan telah menjadi salah satu pilar perubahan di Indonesia sejak era Reformasi 1998.
Rakyat yang turun ke jalan menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup, meski harus dibayar dengan risiko tinggi. Aktivis 98 menegaskan, perjuangan ini adalah kelanjutan semangat Reformasi yang dahulu diperjuangkan dengan darah, air mata, dan pengorbanan. Gugurnya kawan Ojol hari ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih masif demi keadilan dan hak rakyat.
Atas dasar itu, Aktivis 98 menyatakan sikap resmi:
1. Menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya atas gugurnya kawan Ojol yang menjadi pejuang demokrasi.
2. Menuntut penegakan hukum secara tegas terhadap anggota Polri yang terlibat dalam insiden tersebut. Tidak ada toleransi bagi aparat yang melanggar hukum.
3. Mengecam keras tindakan represif dan brutal aparat terhadap demonstran. Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak konstitusional rakyat yang harus dijamin.
4. Mendesak Presiden untuk mengambil langkah tegas, termasuk mempertimbangkan pencopotan Kapolri dan Kapolda Metro Jaya, akibat kegagalan pengendalian situasi yang mengakibatkan korban jiwa.
5. Berkomitmen untuk terus berada bersama seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan demokrasi, menolak intimidasi, pembungkaman, dan kekerasan dari aparat atau elit politik.
6. Meminta elit politik menghentikan pertunjukan kepongahan dan kesombongan yang bertentangan dengan kondisi kesusahan rakyat saat ini.
Kematian kawan Ojol adalah pengingat keras bahwa demokrasi Indonesia masih dalam ancaman serius. Darah yang tertumpah tidak akan sia-sia, melainkan menjadi nyala perjuangan bagi tegaknya keadilan dan kebebasan rakyat. Aktivis 98 menegaskan, mereka akan terus melakukan aksi moral, advokasi hukum, dan edukasi publik agar praktik represif tidak terulang kembali.
Pernyataan ini ditandatangani oleh ratusan tokoh dari berbagai daerah, termasuk Ubedillah Badrun (Jakarta), Ray Rangkuti (Jakarta), Surya (Bandung), Danar Dono (Jakarta), Antonius Danar (Jakarta), Kusfiardi (Jogjakarta), Wakil Kamal (Madura), Embay S (Jakarta), Ronald Loblobly (Jakarta), Eko Koting (Jakarta), Fauzan L (Jakarta), Firman Tendri (Jakarta), Muhammad Jusril (Makasar), Ivan Panusunan (Jakarta), Muradi (Bandung), Agung Dekil (Jakarta), Syamsudin Alimsyah (Makasar), Abdul Rohman Omen (Jakarta), Jeffri Situmorang (Jakarta), Jimmy Radjah (Jakarta), Remond (Padang), Victor Samosir (Jakarta), Apriyanto Tambunan (Jakarta), Bekti Wibowo (Jakarta), Yosep (Ambon), Triwibowo Santoso (Depok), Satyo Komeng (Jakarta), Jove M (Sidoarjo), Deni Kurniawan (Lampung), Raja Muda Pane (Medan), Niko Adian (Jakarta), Bob Radilawe (Jakarta), Dr. Indra P (Jakarta), Dr. Mariko (Bekasi), Fauzi BZ (Jakarta), Danu Umboro (Kudus), Ismail Arif (Jakarta), Raras Tejo (Jakarta), Okki Satrio (Kuningan), Michael Oncom (Bekasi), Adhi Wibowo (Tangsel), Sinyo/D Hermanwan (Jakarta), Bambang P (Jakarta), Iman Akhirman (Tangsel), Agus Rihat M (Bekasi), Bobby Pagarbesi (Abu Dhabi), Bobby Sanwani (Jakarta), Ariel (Jakarta), Yudhi Bonar Sinaga (Bogor), Suhadi Suryopratomo (Jakarta), Albiansyah EP (Jakarta), Juandi (Subang), Joel (Belitung/Babel), Rudi (Indramayu), Febri (Bandung), Irlan (Jakarta), Naga Sentana (Bandung), Oky Harahap (Bandung), Priston Sagala (Bandung), Ario R (Bandung), Chapunk (Jakarta), Lutfi Nasution (Jakarta), Agus Rihat P. Manalu (Jakarta), Ceko (Jakarta), Avian P (Jakarta), Samsul (Makasar), Rivaldi (Makasar), Mustain (Jakarta), Ridwan Darmawan (Jakarta), Pilian Hutasoit (Jakarta), Pdt. Arif Mirdjaya (Jakarta), Irwansyah Rebex (Jakarta), Djulayha (Jakarta), Riskan Tegeg (Bogor), Ari Kolem (Bogor), M. Lutfi (Bekasi), Azwar Furgudyama (Jakarta), Bayquni (Jakarta), M. Mustakim Patawari (NTB), Gobang (Jakarta), Romy Djuanda (Bogor), Armand Faray (Bogor), Wirahadi (Batam), Agus Orek (Purwodadi), Agung Waskito (Semarang), Sahari (Sleman), Yurika (Depok), Deni Wutama (Depok), Jhon Sore (Depok), Pairtan (Bogor), Jhoni Sujarman (Jakarta), Wisnu Simba (Jakarta), dan masih banyak tokoh lainnya dari berbagai daerah yang turut menandatangani pernyataan sikap ini.***