DJADIN MEDIA- Teluk Kiluan cakep sih, tapi apa daya aksesnya kayak ujian sabar level dewa. Tapi tenang, anggota dewan kita nggak stres—karena mereka malah terbang ke Jogja. Katanya sih “belajar wisata berkelanjutan”. Aih, manisnya niat!
Tapi maaf Pak, Bu… Lampung itu bukan Jogja. Kalau Jogja punya destinasi plus akses, kita punya destinasi plus… lobang tiap 10 meter.
Di saat warga berwisata dengan perjuangan: naik motor sambil nahan guncangan kayak lagi di rodeo Texas, anggota dewan kita malah nonton pertunjukan budaya sambil duduk manis dan selfie dengan latar candi.
Padahal netizen sudah teriak sampai pita suara habis: “Yang kami butuh itu bukan teori pariwisata, tapi jalan yang bisa dilewati!”
Tapi ya mungkin, Jogja lebih menarik. Makanannya enak, suasananya adem, dan yang penting… jauh dari suara rakyat yang rewel soal jalan rusak.
Jangan-jangan, ini baru permulaan. Hari ini Jogja, besok Bali, minggu depan belajar urban tourism di Paris? Semua demi studi banding, tentu saja. Demi rakyat, katanya—rakyat mana dulu, ya?
Dan jangan salah, rakyat bukan marah kok. Cuma… ya, ngelus dada sambil ngitung pajak yang dibayar, sambil mikir: “Dewan kita ini pekerja keras, lho. Kerjaannya keras… buat cari alasan kunker.”
Ingat, Pak, Bu. Demokrasi itu bukan berarti setelah dipilih, bebas keluyuran. Ini provinsi, bukan biro wisata. Kami cuma ingin pejabat yang tahu prioritas: wisata itu penting, tapi jalan ke sana lebih penting.
Jadi, sebelum ke Jogja lagi, coba mampir dulu ke pinggiran Metro, atau jalan poros Way Kanan. Rasakan sensasi roller coaster alami, gratis tanpa antre.
Dan terakhir, mari kita saling mawas diri. Karena kalau dewan terus jalan-jalan, rakyat bisa ikut-ikutan: jalan-jalan ke TPS… buat ganti yang lebih peduli.***