DJADIN MEDIA– Diskusi Buku Sastra #1 yang digelar Lampung Literature bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan RI dan FKIP Universitas Lampung (Unila) menghadirkan perbincangan hangat seputar karya puisi Ari Pahala Hutabarat, “Hari-Hari Bahagia”. Acara yang berlangsung di Aula C FKIP Unila, Rabu 1 Oktober 2025, menghadirkan sejumlah pembicara berkompeten, yakni Dr. Munaris, M.Pd. (Kaprodi Bahasa Lampung Unila), penyair Iswadi Pratama, serta Ari Pahala sendiri. Diskusi dipandu oleh Edi Siswanto, M.Pd. sebagai moderator.
Dalam pemaparannya, Munaris menegaskan bahwa klimaks seorang penyair sejatinya berada di dalam puisi-puisinya, bukan pada sosok kesehariannya. “Jangan berharap menemukan sisi romantis seorang penyair dalam kehidupan pribadinya, temuilah itu di dalam puisi-puisinya. Semua sentimen, emosi, dan romantisme sudah ditumpahkan sepenuhnya di sana,” ucap Munaris yang disambut anggukan audiens.
Menurut Munaris, puisi-puisi Ari Pahala menggambarkan sebuah dunia yang kaya akan diksi dan penuh simbolisme. Warna-warna yang dipilih Ari dalam puisinya—ungu, biru, hijau, merah, putih, dan lainnya—menjadi cermin romantisme dan simbol-simbol emosional yang mendalam. “Diksi dalam puisi Ari tidak sekadar alat komunikasi, tetapi sudah menjadi medium estetik yang sarat nilai rasa, irama, simbol, hingga keindahan bunyi. Inilah yang membedakan puisi dari sekadar rangkaian kata,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa kekuatan penyair sesungguhnya terletak pada kemampuannya memilih kata yang bisa mengubah makna biasa menjadi sesuatu yang penuh daya sugesti. Kata-kata yang tepat, kata Munaris, mampu menimbulkan efek emosional yang kuat, memperkaya citraan visual, hingga menambah kedalaman makna yang tidak selalu dapat dijelaskan secara rasional. “Kata-kata itu punya daya sihir. Dengan pilihan diksi, penyair bisa membangun dunia emosional yang hidup, memantik imajinasi pembaca, bahkan meninggalkan bekas mendalam dalam ingatan,” jelasnya lebih lanjut.
Diskusi pun semakin menarik saat Iswadi Pratama ikut menanggapi. Menurutnya, karya Ari Pahala dalam “Hari-Hari Bahagia” merupakan refleksi kehidupan yang dibalut dengan kesederhanaan namun penuh makna. Iswadi menyebut Ari berhasil menyajikan puisi yang tidak hanya bersifat personal, tetapi juga universal, sehingga bisa diterima lintas generasi dan kalangan.
Sementara itu, Ari Pahala yang hadir langsung turut memberikan perspektifnya. Ia menuturkan bahwa buku puisinya merupakan hasil perjalanan panjang perenungan hidup, pengalaman personal, dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Ari menegaskan bahwa puisi baginya bukan sekadar karya seni, tetapi ruang ekspresi untuk membumikan perasaan dan pikiran yang kadang sulit diucapkan secara langsung.
Program Diskusi Buku Sastra ini merupakan bagian dari upaya Lampung Literature bersama Kemenkrbud RI untuk memperkuat ekosistem sastra di daerah. Melalui kegiatan semacam ini, diharapkan lahir ruang dialog yang sehat bagi penulis, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat luas dalam memperkaya wawasan tentang karya sastra dan peran pentingnya bagi kehidupan sosial-budaya.***