DJADIN MEDIA- Sebuah langkah kontroversial kembali terjadi di Bandar Lampung. Tanpa melalui rapat paripurna, DPRD Kota setempat memberi lampu hijau kepada Pemkot untuk memulai operasional sebuah SMA Swasta bernama Siger, meski statusnya masih belum legal.
Sekolah yang diklaim sebagai inisiatif Wali Kota—disebut warga sebagai The Killer Policy—direncanakan mulai Kegiatan Belajar Mengajar pada Senin, 4 Agustus 2025. Informasi ini datang dari para wali murid yang telah mendaftarkan anaknya, lengkap dengan janji pakaian gratis dari pihak sekolah.
Masalah muncul ketika berbagai peraturan yang seharusnya menjadi dasar pendirian sekolah dilanggar. Setidaknya empat regulasi disebut belum dipenuhi:
1. Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014
2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010
4. Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025
Lebih lanjut, wali murid menyebut Ketua Yayasan sekolah ini adalah mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Metro. Statusnya pun masih belum jelas, apakah sudah pensiun atau masih aktif sebagai ASN. Jika masih aktif, maka patut dipertanyakan kesesuaian perannya dengan aturan distribusi ASN.
Yang menjadi sorotan lain adalah keputusan DPRD yang mendukung sekolah ini tanpa melalui mekanisme paripurna. Padahal, anggaran sekolah akan membebani APBD Kota Bandar Lampung. Hal ini seharusnya melalui pembahasan resmi dan transparan.
Di internal DPRD sendiri muncul perbedaan suara. Yuhadi dari Fraksi Golkar menyatakan bahwa anggaran sekolah telah diperhitungkan, namun Asroni Paslah membantah keras. Ia menyebut pembahasan KUA PPAS belum dilakukan dan belum ada palu tanda keabsahan.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung belum mampu menunjukkan dokumen perizinan lengkap. Kepala Dinas, Thomas Amirico, telah memanggil pihak terkait namun belum ada kejelasan kapan legalitas SMA Siger akan sah secara hukum.
Meski demikian, pihak sekolah tetap bersiap memulai kegiatan belajar mengajar. Di tengah perayaan Hari Kemerdekaan RI yang seharusnya menjadi simbol ketaatan pada hukum, justru pemerintah dan legislatif kota membuka lembaran baru kontroversi pendidikan.
SMA Siger kini tidak hanya menjadi polemik legalitas, tetapi juga simbol dari erosi mekanisme demokrasi lokal, ketika aturan dianggap bisa dilewati demi ambisi politik.***