DJADIN MEDIA- Dunia pendidikan di Lampung kembali memanas. Di satu sisi, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal bersama DPRD Provinsi Lampung menyuarakan dukungan penuh terhadap pembukaan SMK baru dengan jurusan seni, bahkan merencanakan pendirian sekolah khusus seni di Taman Budaya Lampung. Namun di sisi lain, sekolah-sekolah swasta menjerit karena ditinggalkan tanpa dukungan Bosda maupun BOP. Kondisi ini dianggap sebagai “suntik mati” perlahan terhadap keberlangsungan SMK swasta yang telah lama menjadi penopang pendidikan di daerah.
Isu ini mencuat setelah Kadis Disdikbud Lampung, Thomas Amirico, mengumumkan rencana pembukaan jurusan seni dan tari di SMK Negeri 5 Bandar Lampung mulai tahun ajaran 2026/2027. Tidak berhenti di situ, ia juga menyampaikan rencana besar membuka SMK baru khusus seni di kawasan Taman Budaya Lampung. Publik pun terkejut ketika terungkap bahwa ide ini bukan inisiatif murni dari Disdikbud, melainkan hasil dialog Dewan Kesenian Lampung dengan Dirjen Kebudayaan RI.
Informasi tersebut sampai ke telinga anggota Komisi V DPRD Lampung, Deni Ribowo. Politisi Demokrat ini segera menyampaikan gagasan itu kepada Gubernur Rahmat Mirzani Djausal. Tak butuh waktu lama, gubernur langsung mengapresiasi dan menginstruksikan agar rencana tersebut segera diproses. Menurut Deni, keputusan ini didasari alasan kultural: masyarakat Lampung memiliki DNA seni yang kuat, sementara tidak semua pelajar berminat masuk SMA atau SMK dengan jurusan umum.
Namun dukungan penuh pemerintah justru menambah luka bagi para kepala SMK swasta. Mereka merasa diabaikan dan bahkan dikhianati oleh Disdikbud serta DPRD. Kekecewaan itu muncul karena dua hal utama. Pertama, nihilnya alokasi Bosda tahun 2025 dan ketiadaan BOP di tahun 2026 dengan alasan keterbatasan kas daerah. Kedua, sistem penerimaan murid baru (PPDB) tahun ajaran 2025/2026 yang dianggap kacau karena minim pengawasan, sehingga banyak sekolah negeri menerima siswa melebihi kapasitas ruang belajar.
Contoh nyata terjadi di SMK Negeri 5 Bandar Lampung yang kini menampung 1.428 siswa dengan 44 rombel, sementara hanya memiliki 26 ruang kelas. Artinya, 18 rombel lainnya harus “berebut” ruang belajar yang jelas tidak mencukupi. Jika jurusan baru kembali dibuka, maka jumlah siswa berpotensi semakin membengkak, memperparah kondisi ketidakadilan distribusi peserta didik.
Belum berhenti di situ, para kepala sekolah swasta juga kecewa dengan ketidakjelasan penanganan kasus SMA ilegal Siger yang didirikan oleh Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana. Menurut mereka, sekolah tersebut jelas melanggar aturan karena belum mengantongi izin. Namun Disdikbud justru berdalih tidak bisa menutup sekolah tersebut karena statusnya belum resmi terdaftar. Kepala dinas menyebut sekolah itu sendiri yang akan dirugikan karena tidak masuk data dapodik, sebuah alasan yang dianggap mengada-ada oleh banyak pihak.
Kemarahan SMK swasta semakin memuncak karena DPRD yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi terkesan diam. Dalam hearing dengan Komisi V, para kepala sekolah sudah menyampaikan keluhan mereka terkait PPDB dan SMA ilegal Siger. DPRD saat itu berjanji akan menindaklanjuti dengan memanggil Disdikbud dan mempertemukan kedua belah pihak. Sayangnya, janji itu hanya tinggal janji. Ketua Komisi V, Yanuar dari Fraksi PDI Perjuangan, memilih bungkam di tengah skandal yang terus mencuat.
Situasi semakin panas ketika Deni Ribowo, alih-alih menengahi keluhan SMK swasta, justru mendorong percepatan pendirian SMK baru dan pembukaan jurusan seni. Hal ini membuat SMK swasta merasa dipinggirkan dalam ekosistem pendidikan Lampung. Mereka menilai seluruh pihak, mulai dari Dirjen Kebudayaan, Dewan Kesenian Lampung, Disdikbud, DPRD, hingga Gubernur, bersekongkol membentuk ekosistem baru yang menyingkirkan eksistensi sekolah swasta.
Para kepala sekolah swasta kini berada di persimpangan sulit. Tanpa dukungan Bosda dan BOP, ditambah kebijakan PPDB yang tidak adil serta keberadaan sekolah ilegal yang dibiarkan, masa depan mereka kian suram. Jika pemerintah terus mendorong lahirnya SMK baru tanpa memperhatikan kondisi yang ada, bukan tidak mungkin banyak SMK swasta akan gulung tikar.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pembukaan SMK baru benar-benar untuk memperluas akses pendidikan atau justru langkah politik dan kepentingan elit budaya yang mengorbankan sekolah swasta? Jika situasi ini tidak segera ditangani, bukan hanya SMK swasta yang merana, tetapi masa depan pendidikan Lampung secara keseluruhan bisa berada dalam bahaya.***
