DJADIN MEDIA — Di balik cangkir kopi arabika yang diseduh dengan penuh kehati-hatian, Robertus Robet merangkai gagasan besar yang menantang batas-batas filsafat lama. Bagi Robet, kopi bukan sekadar minuman. “Ngopi sendiri itu seperti berpikir sendiri di ruangan kosong. Terlalu sunyi, terlalu sepi,” ungkapnya. Kopi adalah pintu menuju percakapan dan perjuangan: tentang keadilan, demokrasi, dan hubungan manusia dengan alam.
Dalam setiap seruputannya, dan diiringi asap cerutu yang mengepul, diskusi mengalir tentang kapitalisme, ekploitasi, hingga materialisme yang menggerus nilai kemanusiaan. Robet mengingatkan, “Hati-hati dalam dunia material yang konsumtif. Uang dianggap segalanya, bisa menjadikan setan.”
Namun, tak hanya kopi atau cerutu yang menjadi ruang kontemplasi. Puncak-puncak gunung — dari Himalaya, Elbrus, Jayawijaya hingga gunung-gunung Indonesia — menjadi guru sunyi yang membisikkan nilai keberanian, kesederhanaan, dan penghormatan pada hidup.
Dari semua pengalaman itu, lahirlah Ekosipasi: teori baru yang memperluas emansipasi klasik. Ekosipasi menolak dikotomi manusia-alam, mengusulkan demokrasi yang juga mendengar suara gunung, sungai, dan pohon. “Kalau ada fraksi pengusaha, harusnya ada fraksi pohon, laut, dan gunung,” kata Robet lantang.
Puncaknya, pada 12 Juni 2025 di Aula Latief Hendraningrat, Universitas Negeri Jakarta, gagasan ini disampaikan Robet saat dikukuhkan sebagai Guru Besar. Dengan penuh semangat, ia menutup pidatonya:
“Jika demokrasi adalah suara semua, maka daun yang gugur pun harus kita dengar.”
Ekosipasi kini menjadi seruan untuk perubahan mendasar dalam cara kita memaknai demokrasi dan keadilan. Sebuah perjuangan untuk dunia yang lebih utuh dan berkeadilan, bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi alam.***