DJADIN MEDIA- Kegiatan ini diinisiasi oleh Festival Film Horor sebagai ruang dialog terbuka untuk membahas perkembangan, tantangan, serta masa depan film horor Indonesia. Ketua penyelenggara ffhoror, Chandra NZ, menyampaikan bahwa diskusi dan festival ini bertujuan mendorong peningkatan kualitas film Indonesia, khususnya genre horor, agar tidak hanya laku secara komersial tetapi juga memberi nilai hiburan yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Chandra, genre horor dipilih karena memiliki tingkat produksi dan minat penonton paling tinggi dibanding genre lain dalam beberapa tahun terakhir. Ia menilai kondisi ini sebagai potensi besar yang perlu diarahkan dengan diskusi kritis dan apresiasi yang tepat. “Festival dan diskusi ini sebagai langkah awal. Kami rencana mulai Januari 2026 selenggarakan setiap bulan pada tanggal 13,” kata Chandra. Ia berharap forum rutin ini dapat menjadi wadah evaluasi sekaligus pengembangan mutu film horor nasional.
Selain diskusi, ffhoror 2025 juga memberikan penghargaan kepada film horor dan para pekerja film yang dinilai berprestasi. Penghargaan tertinggi bertajuk Penghargaan Nini Sunny diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada almarhumah Nini Sunny, jurnalis hiburan senior yang wafat pada 4 Desember 2025 dan sebelumnya menjabat sebagai ketua dewan juri ffhoror. Penggunaan nama tersebut dilakukan atas persetujuan keluarga sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya di dunia jurnalistik film.
Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara dari lintas generasi dan profesi, antara lain aktris senior Nini L Karim, sutradara dan produser Agus Riyanto, Haris Chinamon, Ilham Acho Bachtiar, serta aktris muda Karina Icha. Para pembicara sepakat bahwa film horor Indonesia selama ini masih didominasi cerita mitos dan urban legend, meski mulai terlihat upaya-upaya kecil untuk melakukan pembaruan pendekatan cerita dan visual.
Nini L Karim menekankan pentingnya membedakan horor mistik dengan horor situasional. Menurutnya, rasa horor tidak selalu identik dengan hantu, tetapi juga bisa muncul dari situasi sosial yang menekan dan tidak manusiawi. Sementara itu, Agus Riyanto menyoroti realitas industri, di mana sutradara tetap harus mempertimbangkan selera pasar dan kebijakan produser agar film dapat diterima penonton.
Festival Film Horor direncanakan akan digelar secara rutin setiap bulan, dengan mekanisme penilaian terhadap film-film horor yang tayang pada bulan sebelumnya. Penyelenggara berharap ffhoror dapat berkembang menjadi rujukan dan barometer bagi insan perfilman Indonesia, khususnya dalam mendorong kualitas dan keberagaman film horor nasional.***

