DJADIN MEDIA– Kalau cuma butuh pelatih berlisensi Eropa, banyak. Tapi Indonesia butuh lebih dari sekadar itu. Di babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026, Timnas Garuda membutuhkan sesuatu yang lebih keras dari taktik—mental baja ala Jose Mourinho.
Sementara Arab Saudi dan Qatar sudah “memenangkan” status tuan rumah grup, Indonesia diam-diam harus bersiap bukan hanya menghadapi serangan lawan di lapangan, tapi juga “serangan senyap” dari wasit dan federasi yang kerap dinilai berat sebelah.
Gol hantu dari Bahrain dulu bukan hanya menyakitkan, tapi juga membuka mata kita: di sepak bola Asia, bukan hanya kualitas yang menentukan, tapi juga relasi politik dan diplomasi uang.
Lalu bagaimana kita melawannya?
Belajar dari Mourinho. Pria Portugal yang bahkan berani meledakkan meja konferensi pers ketika timnya dirugikan. Yang memaksa satu federasi sepak bola gemetar dan direksinya hengkang massal. Mourinho tidak hanya tahu taktik, tapi tahu kapan harus berdiri dan teriak, “Cukup!”
Kini Indonesia punya Patrick Kluivert, bukan figur sembarangan. Bekas jenderal lapangan untuk Barcelona, AC Milan, dan Belanda. Tapi, apakah Kluivert siap jadi Mourinho-nya Asia? Atau hanya akan jadi pelatih anteng yang menunduk setiap wasit meniup peluit tak adil?
Karena percuma punya segudang pemain diaspora, kalau setiap laga harus kalah bukan karena kualitas, tapi karena wasit dan sistem.
Jika AFC tetap berpihak, kalau negara-negara Sultan terus main aman di balik status tuan rumah, maka biarkan Garuda jadi simbol perlawanan. Kita tidak minta dimenangkan. Kita hanya ingin dipermainkan secara adil.
Saatnya Garuda mencakar—bukan dengan air mata, tapi dengan keberanian seperti Mourinho mengutuk skenario busuk di balik layar pertandingan.
Sepak bola kita mungkin belum juara. Tapi jangan sampai kehilangan kehormatan. Karena di saat banyak federasi mengejar gengsi, kita harus tetap menjaga martabat.***