DJADIN MEDIA- Alokasi dana APBD Perubahan Pemkot Bandar Lampung untuk SMA Siger—sekolah swasta yang dijuluki “SMA hantu” gagasan Wali Kota Eva Dwiana—meninggalkan jejak buram dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Alih-alih jelas, pengakuan pejabat eksekutif dan legislatif justru saling bertolak belakang. Ketua Komisi IV DPRD Kota Bandar Lampung, Asroni Paslah, menegaskan pada 7 September 2025 bahwa tidak ada anggaran SMA Siger dalam APBD Perubahan tahun ini. “Enggak ada dianggarkan kalau disdik,” ujarnya kepada redaksi.
Namun pernyataan itu berbeda dengan keterangan Kabid Dikdas Disdikbud Bandar Lampung, Mulyadi Syukri. Ia menyebut biaya operasional SMA Siger “sepertinya sudah” masuk dalam APBD Perubahan dan kini masih dalam proses administrasi. “Bentuknya bisa berupa bantuan pendidikan atau hibah, menunggu regulasi lebih lanjut,” katanya pada 12 September 2025.
Kebingungan makin bertambah saat BPKAD ikut angkat bicara. Kabid Anggaran BPKAD, Cheppi Hendri Saputra, membenarkan adanya pengajuan dari Dinas Pendidikan. Namun, ia mengakui anggaran tersebut belum keluar karena masih dalam tahap evaluasi di provinsi. Regulasi pendukung, termasuk perwali, baru akan disiapkan setelah APBD Perubahan sah.
Kontradiksi pernyataan antar lembaga ini menimbulkan pertanyaan serius: siapa yang benar? Apalagi, secara hukum, pengelolaan dana untuk SMA Siger terancam melanggar sederet aturan, mulai dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional hingga Permendagri Nomor 7 Tahun 2024.
Lebih ironis, sejumlah kepala sekolah swasta telah menyampaikan keluhan mereka kepada DPRD Provinsi Lampung, namun suara itu seakan tenggelam di balik kepentingan politik dan tarik-menarik kewenangan.
Kasus SMA Siger menjadi potret nyata bagaimana regulasi dan hukum bisa kehilangan makna ketika berhadapan dengan kekuasaan. Ketidakjelasan status anggaran, kaburnya regulasi, hingga ancaman pidana korupsi hanya mempertegas lemahnya transparansi dan akuntabilitas di tubuh Pemkot Bandar Lampung.
Jika tak segera diperjelas, kasus ini berpotensi bukan sekadar polemik anggaran, melainkan juga skandal hukum yang mencoreng dunia pendidikan.***

