DJADIN MEDIA— Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantam berbagai sektor industri di Indonesia memicu amarah publik. Salah satunya datang dari Ketua Umum Generasi Muda Pejuang Nusantara (Gema Puan), Ridwan, yang secara terbuka mengecam Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) karena dinilai gagal menjalankan fungsinya.
“Satgas PHK bentukan Kemenaker itu hanya kosmetik. Sampai hari ini tidak ada program nyata untuk menyelamatkan jutaan pekerja. PHK terus meluas, tapi kementerian malah pasif,” kata Ridwan, Selasa (30/7/2025).
Yang lebih memprihatinkan, menurutnya, adalah kenyataan bahwa Polri justru turun tangan melalui Desk Ketenagakerjaan dan telah menyalurkan lebih dari 2.000 buruh ke tempat kerja baru. Sebuah peran yang semestinya dijalankan oleh Kemenaker.
“Ini benar-benar absurd! Polisi yang harusnya mengurus keamanan, justru menggantikan peran kementerian tenaga kerja. Apa gunanya Menaker jika tidak bisa merespons krisis ini?” tegas Ridwan.
Desakan Reshuffle dan Audit Satgas PHK
Ridwan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reshuffle terhadap Menteri Ketenagakerjaan Yassierli. Ia menyebut sang menteri gagal menunjukkan empati dan langkah konkret dalam menghadapi krisis nasional ini.
“Pak Presiden, tolong jangan biarkan rakyat jadi korban lagi. Segera ganti Menaker dengan figur yang kompeten dan mau pasang badan untuk buruh!” serunya.
Gema Puan juga menuntut audit menyeluruh terhadap kinerja Satgas PHK, sekaligus meminta transparansi data dan program agar bantuan tidak hanya berhenti di tataran klaim.
Gelombang PHK: Nyata dan Meluas
Berdasarkan data serikat pekerja dan lembaga independen, sejak awal 2025 sektor tekstil, elektronik, hingga ritel terus mengalami PHK besar-besaran. Ribuan keluarga kini kehilangan sumber penghidupan, sementara lapangan kerja baru tidak juga hadir sesuai janji kampanye pemerintah.
“Buruh bukan butuh pidato, mereka butuh makan dan masa depan. Kalau Kemenaker tidak bisa kerja, biarkan yang sanggup ambil alih,” pungkas Ridwan.
Situasi ini menjadi pengingat keras bahwa dalam krisis ketenagakerjaan, negara tak boleh kalah oleh keadaan—apalagi oleh kelambanan birokrasi.***