DJADIN MEDIA – Polemik sekolah ilegal Siger kembali menyeruak ke publik. Alih-alih diberantas, sekolah yang berdiri tanpa izin resmi itu justru semakin berkembang dan berani menerima murid baru. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai lemahnya tindakan tegas Pemerintah Provinsi Lampung, khususnya di bawah kepemimpinan Gubernur Lampung yang juga Ketua DPD Partai Gerindra Lampung, partai yang berada di lingkaran politik Prabowo Subianto.
Isu kian memanas lantaran sekolah ilegal tersebut berdiri di bawah kendali Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, yang dikenal luas dengan gaya kepemimpinannya yang penuh kontroversi dan kini populer dengan julukan The Killer Policy. Fakta bahwa sekolah ini tetap beroperasi selama berbulan-bulan tanpa gangguan dianggap sebagai indikasi lemahnya sikap gubernur dalam menghadapi manuver politik Eva Dwiana.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, sejak Juli hingga September 2025 sudah menegaskan bahwa aktivitas pendidikan di sekolah Siger tidak memiliki legalitas. Dengan kata lain, seluruh kegiatan pembelajaran yang berlangsung di sana adalah ilegal. Namun, meski statusnya jelas melanggar aturan, tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk menghentikan kegiatan sekolah tersebut.
Bahkan, sekolah itu semakin berani. Salah satu wakil kepala sekolah bidang kesiswaan yang juga merupakan guru honorer di SMP Negeri tempat sekolah Siger beroperasi, menyatakan bahwa penerimaan siswa baru tetap berjalan. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan sekolah tersebut seperti mendapatkan perlindungan politik.
Praktisi hukum pun mulai angkat suara. Pengacara Putri Maya Rumanti, yang dikenal sebagai asisten pribadi pengacara kondang Hotman Paris, menilai Eva Dwiana telah melakukan pelanggaran berat. Menurutnya, praktik menyaring murid di sekolah yang tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) adalah bentuk pelanggaran aturan pendidikan nasional.
Tidak hanya itu, praktisi hukum lainnya, Hendri Adriansyah, mengingatkan bahwa sekolah Siger dapat menyeret banyak pihak ke ranah pidana. Ia menilai ada indikasi ancaman terhadap Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), ketua yayasan, hingga kepala sekolah terkait dugaan korupsi, penggelapan aset negara, bahkan penadahan barang hasil penggelapan negara.
Namun, yang menjadi sorotan tajam adalah minimnya respon Gubernur Lampung. Sebagai kepala daerah yang memiliki kewenangan penuh terhadap pendidikan tingkat provinsi, gubernur seolah menutup mata. Padahal, di balik keberlangsungan sekolah ilegal ini terdapat masa depan ratusan remaja yang bisa terancam.
Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang akan bertanggung jawab jika sekolah Siger tidak mendapatkan izin operasional dari pemerintah pusat? Kepala Disdikbud Lampung, Thomas Amirico, justru melemparkan tanggung jawab tersebut kepada ketua yayasan Siger Prakarsa Bunda.
Sayangnya, hingga kini publik belum mengetahui siapa sosok di balik yayasan tersebut. Pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung juga belum memberikan klarifikasi terkait nama ketua maupun pengurus yayasannya. Ketidakjelasan ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada kekuatan politik besar yang menopang keberadaan sekolah ilegal Siger.
Kasus ini bukan sekadar persoalan pelanggaran administrasi pendidikan, tetapi juga mencerminkan bagaimana tarik-menarik kepentingan politik dapat melampaui aturan hukum dan kepentingan masyarakat. Jika dibiarkan, bukan hanya kualitas pendidikan di Lampung yang dipertaruhkan, melainkan juga kredibilitas pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.***