DJADIN MEDIA — R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyerukan peringatan keras soal krisis logam tanah jarang (rare earth elements/REE) yang bisa menjadi penentu nasib industri masa depan. Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh lagi menjadi penonton dalam konflik global sumber daya.
Mengutip laporan McKinsey & Company, permintaan terhadap logam magnetik seperti neodymium (Nd) dan praseodymium (Pr) diproyeksikan melonjak tiga kali lipat pada 2035, dengan ancaman defisit global sebesar 30%. “Kalau lembaga sekelas McKinsey sudah memetakannya, kita tidak boleh anggap enteng. Ini peringatan keras bagi Indonesia untuk segera bertindak,” ujar Haidar, Rabu (30/7).
Dunia Bergegas, Indonesia Terjebak Koordinasi
Logam tanah jarang adalah komponen vital teknologi masa depan: dari kendaraan listrik, turbin angin, robot, satelit, hingga sistem pertahanan. Ironisnya, lebih dari 60% penambangan dan 80% proses pemurnian dikuasai oleh China.
“Ketika negara lain mempercepat hilirisasi dan diversifikasi pasokannya, kita malah sibuk dengan koordinasi antar kementerian yang tak kunjung selesai,” kritik Haidar tajam.
Solusi dari Bawah: Legalitas Tambang Rakyat
Menurut Haidar, solusi kedaulatan mineral tak perlu selalu mahal. Ia mengusulkan pemberian legalitas dan pelatihan teknologi untuk tambang rakyat, terutama di wilayah seperti Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi, yang menyimpan REE sebagai mineral ikutan.
“Yang dianggap limbah itu emas masa depan. Jangan biarkan rakyat menggali secara ilegal. Berikan izin, bimbingan teknologi, dan jembatan ke hilirisasi. Bangun dari bawah, bukan dari investor asing,” ujarnya.
Dorong Badan Nasional Rare Earth dan Circular Economy
Untuk mempercepat strategi nasional, Haidar mendorong pembentukan Badan Nasional Rare Earth (BNRE) yang khusus menangani eksplorasi, pemrosesan, pemurnian, dan daur ulang magnet REE. Ia menekankan pentingnya riset teknologi bebas merkuri dan pemanfaatan limbah elektronik sebagai sumber sekunder logam magnetik.
“Dunia sudah bicara circular economy, kita bahkan belum mulai dari sistem linear. Ini saatnya generasi kita balik sejarah: dari penambang ke pemilik teknologi,” tegas Haidar.
Kedaulatan Energi = Kedaulatan Masa Depan
Haidar menutup dengan seruan kuat agar Indonesia tak terus menjadi pasar bagi teknologi mahal negara lain. “Kalau McKinsey sudah bicara defisit global, kita harus bicara keberanian nasional. Mulailah dari tambang rakyat, karena dari situlah teknologi kita bisa berdiri di atas kaki sendiri,” pungkasnya.
Artikel ini menyuarakan pentingnya kesadaran nasional terhadap isu strategis logam tanah jarang sebagai tulang punggung teknologi global. Suatu isu yang selama ini luput dari perhatian publik, padahal menyangkut arah masa depan Indonesia sebagai negara berdaulat dalam energi dan teknologi.***