DJADIN MEDIA— Polemik kasus dugaan korupsi dana Participating Interest (PI) 10% yang melibatkan PT Lampung Energi Berjaya (LEB) kini memasuki babak baru. Sejumlah pakar hukum dan akuntan publik angkat suara, memperingatkan bahaya kriminalisasi terhadap keputusan bisnis yang sah secara hukum dan diambil melalui mekanisme korporasi resmi, yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kasus yang disidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung sejak lebih dari satu tahun lalu itu menyeret tiga petinggi LEB sebagai tersangka pada 22 September 2025. Namun, hingga kini publik belum mendengar secara resmi berapa nilai kerugian negara yang ditetapkan lembaga audit negara seperti BPK atau BPKP.
“Kalau pembagian dividen dilakukan lewat RUPS berdasarkan laporan keuangan yang sudah diaudit dan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), di mana letak pelanggarannya?” ujar seorang akademisi hukum korporasi Universitas Lampung kepada wartawan, Rabu (22/10/2025).
Legitimasi RUPS dan Perlindungan Hukum Direksi
Dalam tata kelola perusahaan, RUPS merupakan otoritas tertinggi yang mewakili pemegang saham dalam mengambil keputusan penting, termasuk pembagian dividen. Menurut pakar hukum bisnis, keputusan tersebut dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rule (BJR) yang memberi perlindungan hukum bagi direksi selama mereka bertindak dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan sesuai dengan peraturan perundangan.
“Selama dividen itu diputuskan melalui RUPS, didasarkan pada laporan keuangan yang benar dan sesuai UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka keputusan itu sah secara hukum. Direksi tidak bisa serta merta dipidana,” tegasnya.
Ia menambahkan, Pasal 97 UU PT dengan jelas menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika keputusan bisnis diambil dengan prinsip kehati-hatian. “Kalau setiap keputusan bisnis bisa dipidana, tidak akan ada direksi yang berani mengambil langkah strategis. Ini berbahaya bagi BUMD di seluruh Indonesia,” katanya lagi.
Dividen Rp214 Miliar Justru Jadi Pemasukan Daerah
Data notaris yang mencatat hasil RUPS PT LEB pada 23 Agustus 2023 menunjukkan bahwa pembagian dividen senilai Rp214,867 miliar diberikan kepada dua pemegang saham utama: PT Lampung Jasa Utama (LJU) dan PDAM Way Guruh Lampung Timur.
Menariknya, dana tersebut justru tercatat sebagai pendapatan daerah alias Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Dividen itu bukan uang yang keluar dari negara, tapi justru masuk ke kas daerah. Jadi tidak mungkin dikategorikan sebagai kerugian negara,” jelas pakar hukum publik lainnya.
Dividen itu berasal dari total penerimaan PI sekitar Rp271 miliar selama periode 2018–2023. Seluruh laporan keuangan telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik independen dengan hasil opini Wajar Tanpa Pengecualian, artinya tidak ditemukan kesalahan material atau indikasi manipulasi.
Unsur Pidana Harus Terbukti Nyata
Dalam konteks hukum tindak pidana korupsi, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor menegaskan bahwa untuk menjerat seseorang harus terbukti ada perbuatan melawan hukum serta kerugian negara yang nyata dan terukur. Hingga kini, belum ada audit resmi yang menunjukkan angka pasti kerugian dalam kasus LEB.
“Tanpa hasil audit kerugian negara yang valid, unsur pidana belum bisa dipenuhi. Jangan sampai penegakan hukum justru melanggar asas due process of law,” tutur sang ahli.
Pakar hukum pidana senior Prof. Andi Hamzah bahkan pernah menegaskan, bahwa kriminalisasi keputusan bisnis tanpa bukti adanya niat jahat (mens rea) adalah pelanggaran asas hukum itu sendiri.
Risiko Kriminalisasi Keputusan Bisnis
Sejumlah pengamat menilai, langkah penyidik yang menafsirkan keputusan korporasi sebagai tindak pidana berpotensi menimbulkan efek domino yang negatif bagi dunia usaha daerah.
“Kalau keputusan RUPS yang sah bisa dipidanakan, ini akan membuat para direksi dan komisaris BUMD lumpuh secara mental. Mereka akan takut mengambil kebijakan bisnis,” ujar seorang analis kebijakan publik Lampung.
Ia juga menyoroti bahwa kesalahan administratif seperti keterlambatan laporan keuangan atau perbedaan interpretasi PSAK (Pedoman Standar Akuntansi Keuangan) tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Pelanggaran administratif harusnya diselesaikan secara internal melalui mekanisme audit, bukan lewat proses pidana. Kalau semua hal dikriminalisasi, ekonomi daerah bisa stagnan,” tambahnya.
Audit dan Praktik Akuntansi di Sektor Migas
Sementara itu, sumber dari Kantor Akuntan Publik menjelaskan bahwa laporan keuangan LEB menggunakan kurs asumsi APBN dalam mengonversi pendapatan dolar AS—praktik yang lazim dalam industri migas.
“Selama dasar perhitungan kurs dijelaskan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) dan diterima auditor, tidak ada pelanggaran. Dan faktanya, laporan tersebut mendapat opini WTP, artinya sah secara akuntansi,” ujarnya.
Keadilan dan Kepastian Hukum
Kasus PT LEB kini menjadi ujian besar bagi integritas penegakan hukum di Indonesia. Publik menunggu hasil audit resmi kerugian negara dan transparansi aset sitaan yang sejak 2024 belum diumumkan Kejati Lampung.
“Penegakan hukum harus mengutamakan keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai semangat antikorupsi justru berubah jadi kriminalisasi kebijakan bisnis. Korupsi itu bukan salah hitung laba, tapi niat mencuri uang rakyat,” pungkas pakar tersebut.***
