DJADIN MEDIA- Akademi Kebidanan (Akbid) Wira Buana Metro tengah menjadi sorotan setelah ijazah mahasiswa bernama Dianty Khairunisa Kurniawan tidak diserahkan selama tiga tahun meski yang bersangkutan telah mengikuti yudisium dan wisuda pada September 2022. Pihak keluarga menilai penahanan ini tidak wajar dan merugikan Dianty secara akademik maupun profesional.
Keluarga Dianty menyatakan, alasan pihak kampus menahan ijazah adalah nilai praktik mahasiswa dari RS Ahmad Yani Metro yang dianggap belum masuk ke bagian akademik. Namun klarifikasi langsung ke rumah sakit menunjukkan bahwa nilai praktik Dianty sudah diserahkan, sehingga keluarga menilai kampus tidak beralasan menunda pemberian ijazah.
Wakil Rektor Akbid Wira Buana, Hikmah, menjelaskan bahwa kampus tidak menahan ijazah, melainkan memberi syarat agar Dianty menjalankan praktik yang belum dipenuhi. “Saat praktik di rumah sakit, dia tidak hadir pada jadwal tertentu, sehingga kami memberi syarat magang dua bulan tambahan agar memenuhi standar pendidikan,” jelas Hikmah. Ia menambahkan bahwa pihak kampus selalu terbuka bagi Dianty untuk mengambil ijazah dengan membuat janji terlebih dahulu, namun mahasiswa tersebut tidak pernah datang secara pribadi.
Masalah ini menimbulkan kontroversi karena secara akademik, mahasiswa hanya boleh mengikuti yudisium dan wisuda jika seluruh nilai telah lengkap. Praktisi hukum Ardian SH, MH menegaskan bahwa jika mahasiswa sudah dinyatakan lulus, penahanan ijazah dianggap maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang. “Tidak mungkin mahasiswa diluluskan dan diwisuda bila nilai belum lengkap. Ini berarti persoalan ada pada internal kampus, bukan pada mahasiswa,” tegas Ardian.
Selain itu, terdapat dugaan pemaksaan terhadap Dianty untuk menandatangani surat perjanjian magang tambahan yang dianggap sepihak oleh keluarga. Ardian menilai praktik ini berpotensi melanggar hukum administrasi dan etika pendidikan, bahkan bisa masuk ranah pidana jika ada tekanan atau ancaman terhadap mahasiswa.
Hikmah juga menegaskan adanya bukti pemalsuan tanda tangan dosen oleh Dianty pada beberapa dokumen revisi akademik. Pihak kampus menyimpan tanda tangan asli dan dokumen pemalsuan sebagai arsip pembuktian. Menurutnya, tindakan lembaga dilakukan sesuai aturan dan berdasarkan pertimbangan akademik.
Keluarga Dianty menyoroti kerugian yang dialami, termasuk tertundanya pengurusan STR Bidan, peluang kerja, dan pengembangan karier profesional selama tiga tahun. Mereka mendesak penyelesaian segera melalui jalur transparan. “Jika tidak ada penyelesaian, mahasiswa berhak menempuh jalur hukum melalui Ombudsman, LLDIKTI, maupun PTUN,” kata keluarga Dianty.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan kepatuhan administrasi di institusi pendidikan tinggi, agar hak lulusan tidak terhambat dan proses pendidikan berjalan sesuai hukum dan etika.***

