DJADIN MEDIA– SMA Swasta Siger menjadi sorotan publik setelah dugaan penyalahgunaan dana puluhan miliar dari Pemerintah Kota Bandar Lampung. Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung, Darmawan Purba, yang juga Sekjen Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan se-Indonesia (Adipsi), menyebut sekolah ini sebagai “sekolah kolaboratif lintas batas”. Pernyataan tersebut memicu kontroversi karena dinilai tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Menurut Darmawan, SMA Swasta Siger memanfaatkan gedung eksisting milik pemerintah, melibatkan tenaga pendidik lokal, komunitas pendidikan, dan membuka kemitraan lintas pihak. Namun, realitasnya, sekolah ini diduga melanggar setidaknya empat peraturan perundang-undangan, termasuk Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010.
Ketua DPRD dan Ketua Komisi 4 DPRD Bandar Lampung menegaskan belum ada pengesahan anggaran sekolah ini melalui rapat paripurna. Sementara itu, sekolah yang belum terdaftar di Dapodik memanfaatkan fasilitas SMP Negeri sehingga berpotensi mengganggu jam operasional belajar siswa. Dugaan penyalahgunaan dana semakin mencuat karena dana dialokasikan tanpa persetujuan DPRD.
Selain masalah anggaran, tindakan door to door camat dan lurah untuk mengumpulkan data siswa menuai kritik. Camat Enggal, M. Supriyadi, menyatakan langkah ini untuk memetakan siswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP), namun tidak berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Kepala Bidang Pembinaan SMK Disdikbud Lampung, Sunardi, menegaskan data siswa tidak boleh disebarluaskan tanpa surat resmi.
Praktisi pendidikan menilai pernyataan Darmawan Purba tidak mempertimbangkan dampak nyata sekolah tersebut terhadap pendidikan dan regulasi. SMA Swasta Siger, menurut pengamat, lebih berfungsi sebagai alat politik untuk memuluskan langkah pemerintah kota dibanding menjadi institusi kolaboratif untuk rakyat.
Beberapa pihak menduga adanya strategi untuk menarik siswa dengan iming-iming beasiswa, yang berpotensi merugikan sekolah swasta lain dan sistem pendidikan publik. Hal ini diperkuat fakta bahwa SMA Swasta Siger sepi peminat dan pengelolaannya terkait erat dengan jaringan politik lokal, termasuk dukungan Partai Gerindra.
Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas pendidikan, pengawasan dana publik, dan peran intelektual akademik dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Praktisi pendidikan berharap DPRD dan dinas terkait meninjau kembali legitimasi dan operasional sekolah untuk melindungi hak peserta didik dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan.***