DJADIN MEDIA– Buku puisi terbaru karya penyair senior asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS, berjudul Menungguku Tiba, akan dibedah di Pusat Budaya Sunda, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada Senin, 18 Agustus 2025 pukul 14.00 WIB.
Salah satu pembahas dalam agenda ini, Dr. Ipit Saefidier Dimyati dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), menyebut bahwa Isbedy memiliki kemampuan meramu bahasa sehari-hari menjadi puisi yang jernih dan tenang, meski berbicara tentang kematian.
“Buku ini menyajikan tema maut dengan ketenangan yang mendalam, bukan klise, bukan dramatis, melainkan jernih, hening, dan penuh penerimaan,” ujar Ipit melalui pesan WhatsApp, Rabu 6 Agustus 2025.
Menurut Ipit, keberanian menulis puisi tentang kematian memerlukan kedalaman spiritual dan refleksi eksistensial. Dalam buku ini, lanjutnya, pembaca bisa menyaksikan perjalanan batin sang penyair dari tubuh yang terkuras, cinta yang memudar, rumah yang sunyi, hingga kesiapan menghadapi takdir.
Buku Menungguku Tiba ditulis Isbedy dalam rentang 2022 hingga 2025, dan diterbitkan oleh Lampung Literature. Selain Ipit, buku ini juga akan dibedah oleh Dr. Baban Banita, M.Hum dari Prodi Sastra Indonesia Unpad.
Isbedy menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Ganjar Kurnia selaku Ketua Pusat Budaya Sunda Unpad yang telah menjembatani acara ini. “Saya berterima kasih karena telah difasilitasi, ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang kepenyairan Lampung yang saya bawa ke panggung akademik nasional,” ujarnya.
Ia juga berharap, selain bedah buku, akan ada pembacaan puisi dan kemungkinan pertunjukan musikalisasi puisi. “Mungkin saya akan baca satu puisi, Fitri Anggraini juga, dan Ipit mungkin akan mengalihwahanakan ke musik. Kita lihat saja nanti,” tambahnya.
Isbedy menegaskan bahwa tema dalam buku ini bukan hanya kematian. Ia turut menyentuh soal mudik, cinta, kehidupan sosial, dan kenangan masa kecil. Puisi “Sajaksajak Pendek Ditulis Ketika Kau Menungguku Tiba (Tentang Mudik)” misalnya, tidak hanya berbicara tentang pulang kampung, tapi juga tentang ibu, pasar, dan ruang sosial yang sangat karib dengannya.
Ia juga menyoroti minimnya dukungan dari lembaga seni daerah terhadap seniman yang bergerak di luar struktur kelembagaan. “Ekosistem kesenian harusnya terbuka dan inklusif. Justru seni yang berkembang di luar lembaga formal inilah yang seharusnya dijaga dan dirangkul,” tegasnya.***
