DJADIN MEDIA- Sore itu, Jumat 16 Mei 2025, lantai 3 Gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) tak seperti biasa. Sekitar 100 mahasiswa dari FKIP Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia larut dalam suasana yang hangat namun reflektif, kala Isbedy Stiawan ZS—sastrawan nasional yang dijuluki Paus Sastra Lampung—hadir dan berbagi kisah.
Momen ini tidak direncanakan jauh hari. Isbedy datang ke Kotabumi untuk melayat almarhum Bachtiar Basri, mantan Wakil Gubernur Lampung, dan menyempatkan diri menyapa mahasiswa. “Meski dadakan, ini kesempatan langka yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin,” kata Prof. Dr. Sudarman, Ketua PW Muhammadiyah Lampung.
Didampingi pengampu mata kuliah sastra, Djuhardi Basri, Isbedy membuka cerita tentang awal mula ia menekuni puisi, hingga proses kreatif di balik karyanya. Ia membedah bagaimana puisi lahir dari pengalaman, rasa, dan ketajaman batin.
“Penyair harus tergoda oleh gagasan yang berkelebat. Maka sense of poetic harus terus diasah,” ujarnya, sambil mencontohkan puisi “Malioboro” dan “Petang, Kamboja, dan Duka” yang ditulis untuk mendiang Bachtiar Basri.
Isbedy juga menyentil fenomena yang ia anggap serius: vakumnya regenerasi sastrawan muda di Lampung. “Beberapa tahun ini, hampir tak terdengar nama baru. Ini bukan cuma soal bakat, tapi juga kurangnya ruang dan perhatian,” tegasnya.
Ia menyoroti minimnya peran kampus dalam mendukung minat kesusastraan mahasiswa. FKIP, kata dia, terlalu fokus pada mencetak calon guru. “Sastra di kampus makin terpinggirkan, padahal dulu kampus jadi ladang subur lahirnya sastrawan.”
Menurutnya, pergeseran ke era digital juga turut memperlemah posisi sastra. “Media cetak gulung tikar, dan sastra kehilangan panggung. Sekarang, menulis puisi bukan lagi dianggap profesi.”
Diskusi ini menjadi ruang refleksi dan motivasi, tak hanya soal puisi, tapi juga tentang peran kampus dan mahasiswa dalam menjaga nyala sastra. Turut hadir dalam acara ini: WR 2 Slamet Hariyadi, Rektor Dr. Irawan Suprapto, M.Pd., serta para dosen seperti Windo Diky Irawan, Eny Munisah, Masitoh, dan Haryanti.
Walau hanya berlangsung hingga pukul 15.20 WIB, sesi ini meninggalkan resonansi yang mendalam: bahwa sastra perlu ruang, dan para penulis muda butuh disapa dan dibimbing, sebelum senyap menjadi biasa.***