DJADIN MEDIA– Praktik door to door yang dilakukan oleh aparat kecamatan dan kelurahan untuk mengumpulkan data siswa dari sekolah-sekolah di Bandar Lampung memicu perbedaan pendapat antara Camat Sukarame dan Camat Enggal serta menimbulkan kekhawatiran di kalangan kepala SMA dan SMK setempat.
Camat Sukarame, Zolahuddin, menjelaskan pada Rabu (13/8/2025) bahwa pihaknya turun langsung ke sekolah-sekolah untuk mendapatkan data siswa dalam rangka sosialisasi Sekolah Siger, sebuah SMA swasta yang saat ini masih berstatus ilegal, serta program kuliah gratis. Ia menuturkan, kunjungan langsung dilakukan karena beberapa Ketua RT mengaku tidak memiliki data warga yang membutuhkan informasi tersebut. “Sekolah mana ya itu? Iya kita mencari data untuk sosialisasi sekolah Siger dan beasiswa kuliah, karena kadang diminta ke RT tapi alasannya enggak ada, jadi kita turun langsung agar tidak ada miskomunikasi,” ujarnya.
Sementara itu, Camat Enggal, M. Supriyadi, membantah keterkaitannya dengan Sekolah Siger. Menurutnya, aktivitas door to door yang dilakukan aparat di wilayahnya semata-mata untuk memetakan siswa yang berhak menerima Program Indonesia Pintar (PIP). Ia menegaskan bahwa kegiatan ini dilakukan atas inisiatif sendiri dan bukan atas perintah Wali Kota Bandar Lampung atau Dinas Pendidikan setempat. “Cuma untuk mencari data mana siswa yang bisa dapat PIP dan mana yang tidak. Itu saya ke sana karena memang saya kenal dengan kepala sekolahnya, kalau tidak ya saya enggak berani juga. Enggak cuma swasta, yang negeri juga saya datangi,” jelas Supriyadi.
Kegiatan ini memunculkan kekhawatiran dari kalangan praktisi pendidikan, salah satunya M. Arief Mulyadin. Ia menilai aksi door to door yang dilakukan oleh camat dan lurah di beberapa kecamatan terlihat sistematis, terkoordinasi, dan bertepatan dengan lokasi sekolah Sekolah Siger yang ilegal. Arief mempertanyakan urgensi mengunjungi lembaga pendidikan, karena tidak semua siswa di sekolah tersebut merupakan warga yang bersangkutan. “Kalau memang untuk PIP, seharusnya pengajuan melalui wali kota atau pihak resmi. Kalau alasannya itu, ngapain ke sekolah, kan tidak semua murid itu warganya,” ujarnya.
Kepala sekolah yang didatangi aparat pun mengaku resah. Mereka khawatir data siswa yang diminta bisa digunakan untuk membujuk murid agar pindah ke Sekolah Siger, yang saat ini masih minim peminat dan belum memiliki izin resmi. Dugaan ini diperkuat oleh penjelasan salah satu wali murid yang juga Ketua Yayasan dan eks Kepala Dinas Pendidikan Kota Metro.
Kasus ini kemudian mendapat perhatian dari Kepala Bidang Pembinaan SMK Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Sunardi. Ia menyatakan bahwa gerakan door to door semacam ini tidak pernah dikoordinasikan dengan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, yang merupakan instansi berwenang dalam urusan pendidikan SMA/SMK. Sunardi mengingatkan agar pihak sekolah tidak memberikan data siswa kepada aparat yang datang tanpa surat resmi dari pemerintah. “Kalau tidak ada surat resmi, data jangan diberikan. Selama ini tidak ada koordinasi dengan dinas provinsi,” tegasnya.
Perbedaan penafsiran antara kedua camat dan kekhawatiran sekolah menimbulkan kontroversi yang masih menjadi perdebatan publik, sekaligus menyoroti pentingnya prosedur resmi dan koordinasi antar instansi dalam pengumpulan data siswa, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman maupun penyalahgunaan data.***
